Jumat, 24 April 2015

Marlena di Tanah Merah

Cerpen cinta marlena di tanah merah


“Marlena! Cepatlah pulang! Percuma saja kau tuangkan air matamu, pecundang itu tidak akan menghapuskan air matamu. Dia tidak lagi ada tangan, bahkan hatinya telah hancur. Dia hanya pecundang. Cepatlah pulang!”

Begitulah bunyi pesan Abahnya yang tak suka ketika Marlena mengunjungi tanah merah. Tanah itu hanya seluas setengah hektar. Hanya ada satu pohon durian yang tak pernah berbuah diatas tanah itu. Bahkan, tidak ada pasang kaki yang mau melintas diatas tanah itu. Namun, tidak dengan Marlena. Setiap kali purnama datang, ia selalu pergi ke tanah itu. Menangis dibawah kaki pohon durian, kadang ia mengusap tanah itu dengan sebelah tangannya, sedang sebelah tangan lainnya tidak ada. Sejak lahir, ia tak punya tangan kiri.

Abahnya pernah akan memotong sebelah kakinya menggunakan celurit karena ia masih sering pergi ke tanah itu. Untung saja Marlena segera berlari ke tanah merah dan berlindung dibawah pohon durian. Bukan Abahnya tak mengejar Marlena, hanya saja Abahnya tak pernah bisa untuk menginjakkan kakinya diatas tanah merah itu.

Marlena selamat. Tetapi ia tak bisa pulang. Memilih pulang, sama halnya dengan memilih melompat ke jurang, karena Abahnya pasti telah menunggu untuk memotong kakinya. Hanya Ibunya, yang dulu sering membela Marlena. Tetapi beliau telah kembali pada Tuhan.

Sudah tiga hari Marlena tinggal diatas tanah itu. Tak ada makanan, tetapi tak merasa lapar. Ia lebih senang tinggal disana, daripada di rumah tetapi serasa tinggal di ambang neraka. Setiap malam, ia berteman dengan kunang-kunang. Jika pagi, ia tak punya teman.

****

Dua tahun lalu, Marlena dinikahi oleh seorang lelaki yang juga berasal dari tempat tinggalnya. Madura. Lelaki itu bernama Sakera. Pada masanya, Sakera merupakan pemuda berhati malaikat. Ia adalah satu-satunya pemuda yang berani menentang kebijakan penjajah Belanda pada tiga tahun lalu yang semerta-merta mempekerjakan rakyat pribumi di ladang miliknya sendiri, dan merampas semua hasil panen para tani. Meski demikian, banyak yang tidak menyenangi Sakera sebab diadu domba oleh kelompok Belanda. Termasuk yang paling tidak suka kepada Sakera adalah Abah Badrul, Abah Marlena.

Semalam sebelum pernikahannya dengan Sakera, Marlena sempat bertanya banyak hal kepada Ibunya. Marlena mulai bertanya kenapa ia dilahirkan sebagai manusia cacat. Cantikpun tidak. Ia lebih pantas dipanggil si buruk rupa.

“Ibu, mengapa Tuhan melahirkanku?”

“Karena Tuhan sayang kepadamu, Nak.”

“Jika Tuhan benar sayang, kenapa Tuhan melahirkanku dengan satu tangan, hidung yang merata, kulit menggosong, dan mata yang samar untuk melihat kecantikanmu, Ibu?”

Ibunya beranjak dari hadapan Marlena, lalu berdiri di depan jendela kamar. Membuka tirai jendela, mencari bintang yang paling bersinar.

“Lihatlah bintang itu! Yang paling bersinarlah selalu mencuri perhatian segala pandangan. Tuhan melahirkanmu berbeda, agar semua orang dapat melihatmu seperti bintang itu.”

“Tapi kenyataannya, semua orang tak melihat diriku seperti bintang, aku tidak terlihat seperti bintang, Ibu. Aku buruk rupa. Bahkan Abah sendiri tidak mau mengakui kalau aku anaknya.”

Ibunya cemas. Hatinya mulai rapuh mendengarkan kesedihan anaknya yang cuma satu. Semua ibu pasti menginginkan anaknya terlahir sempurna. Cantik jika itu perempuan, dan tampan jika itu laki-laki. Namun, apa lagi yang bisa ia perbuat jika itu kehendak Tuhan? Tuhan tidak pernah salah menurunkan takdir. Tuhan lebih tahu untuk memberikan pembahagian kepada hamba-Nya.

Setelah terdiam barang sejenak, barulah ia kembali meyakinkan anak semata wayangnya bahwa Tuhan akan memberikan pembahagian setelah kesedihannya. Meyakinkan Marlena, bahwa ia adalah perempuan yang cantik. Bahkan lebih cantik dari teman sebayanya yang telah bersuami. Setidaknya, Marlena lebih cantik hati.

“Setidaknya, di dunia ini masih ada Ibu, dan calon suamimu yang melihatmu begitu sempurna, Nak.”

Marlena teringat dengan Sakera. Lelaki tampan yang rela memilih untuk menikah dengan perempuan buruk rupa. Semua gadis desa menggilainya, tetapi lelaki itu tidak pernah tergoda hatinya. Ia lebih memilih perempuan buruk rupa.

Sampai saat ini, Marlena belum percaya bahwa ia akan menikah. Sudah tiga puluh tahun ia mengharapakan cinta, namun tak mengharapkan cinta dari seseorang yang begitu sempurna. Cukup yang sepadan dengannya, karena ia sadar sapalah ia. Tetapi malam itu, Sakera benar datang ke rumahnya untuk melamarnya. Semula Abahnya tidak setuju, karena memang ia tidak suka kepada Sakera jauh sebelum ia datang untuk melamar.

Sakera kembali datang seminggu kemudian. Ia berusaha meyakinkan Abah Marlena. Bahwa ia benar mencintai Marlena. Malam itu sedang purnama. Mungkin cahaya purnama telah menghipnotis Abah Marlena untuk menerima lamaran Sakera. Pernikahan antara Sakera dan Marlena akan dilangsungkan saat purnama sebulan berikutnya.

“Aku belum percaya, Sakera akan menikahiku karena ia mencintaiku. Ibu, apakah ada di dunia ini lelaki tampan nan sempurna yang mencintai perempuan buruk rupa sepertiku?”

“Tak perlu cantik untuk dapat dicintai, Marlena. Justru jika ada lelaki yang mencintai karena kecantikannya, itu bukan cinta, melainkan nafsu.”

Marlena memeluk tubuh Ibunya dalam sepi. Sepi bukan karena malam yang gulita. Bukan. Tetapi sepi karena hati mereka sedang menangis. Ibunya melepaskan pelukannya, dan tersenyum kepada anaknya, lalu melangkah keluar dari kamar Marlena.

“Tidurlah, besok kau akan melangsungkan pernikahan.”

Marlena bangkit dan membalikkan badan menuju jendela kamar, lalu menatap ke langit. Ia mencari bintang yang paling bersinar seperti kata Ibunya. Setelah menemukan, ia berbisik pada dirinya sendiri: Benarkah aku seperti bintang itu?

Marlena melihat beberapa rumah joglo yang berbaris rapi di samping rumahnya. Di depan rumah mereka, terdapat satu obor sebagai penerangan. Namun, jika purnama datang, mereka tidak perlu menyalakan obor. Cukup cahaya bulan sebagai penerangnya. Kini kampung itu telah damai, semua petani dapat bernapas lega jika ingin bertanam di ladangnya sendiri. Semua berkat keberanian Sakera mengusir koloni Belanda untuk jera menjajah di kampungnya.

****

Purnama kembali datang. Pertanda usia pernikahan Marlena dengan Sakera genap satu bulan. Marlena begitu mencintai suaminya. Hingga pada suatu malam kala purnama, Marlena duduk di beranda rumahnya. Sakera baru datang dari langgar  tempat ia mengajari anak-anak kampung mengaji.

“Marlena? Sedang apa kau duduk di depan rumah, tak seperti biasanya? Segeralah masuk, tidak enak jika dilihat tetangga. Hari sudah malam, harusnya kau menunggu di dalam saja. Angin malam pun sedang tak bersahabat untuk dijadikan selimut, bisa jadi kau akan sakit.”

Marlena tersenyum sebelum menjawab, “aku sedang menikmati keindahan purnama. Suamiku, aku ingin bertanya. Mengapa kau melamar dan menikahiku disaat purnama? Apa karena kau menginginkan paras buruk rupaku ini terlihat sedikit lebih bersinar oleh sapuan cahaya rembulan?”

“Kenapa kau berpikir seperti itu? Istriku, aku bukanlah lelaki yang melihat kecantikan seorang wanita agar bisa dicintai. Aku adalah lelaki yang berharap untuk bisa mencintai seorang wanita yang setia, dan berbakti kepadaku, juga Tuhanku. Tuhan telah menghadirkanmu. Dan aku, tidak pernah ragu akan pemberian Tuhan.”

Marlena serius mendengarkan keterangan suaminya. Sakera beralih untuk duduk di samping istrinya. Mereka duduk bersila, menghadap ke rembulan yang samar tertutup oleh daun-daun pohon bambu.

“Istriku, satu bulan sebelum aku datang untuk melamarmu, aku pernah bermimpi tentangmu, kala itu sedang purnama. Aku bermimpi bahwa engkau adalah calon istri yang Tuhan takdirkan untuk bisa bahagia bersamaku. Sebab itulah, aku melamar dan menikahimu disaat purnama pula. Istriku, jangan ragukan lagi tentang kecintaanku terhadapmu. Kalaupun kau ingin bukti dariku, akan aku lakukan. Apapun.”

Sakera mengkecup kening istrinya. Kecupan kasih sayang. Kecupan yang dapat membuat semua hati perempuan melayang. Marlena tersenyum. Pikirnya, ia tak perlu meminta suaminya melakukan sesuatu untuk membuktikan kecintaannya.

Setelah cukup senang, Sakera berusaha menyampaikan sebuah berita yang telah lama ingin disampaikan kepada istrinya tetapi ia tak tahu waktu yang tepat. Kali ini ia rasa adalah waktu yang tepat. Dengan berhati-hati, Sakera menyampaikan berita kepergiannya ke desa seberang. Di desa tersebut masih saja ada penjajah Belanda yang tidak juga angkat kaki.

Berita itu membuat jantung Marlena seolah berhenti berdetak. Desiran nadi yang tak lagi terasa. Ia tidak punya maksud untuk melarang kepergiannya, ataupun menginjinkan. Sekalipun ia melarang, pastilah suaminya akan menurut. Tetapi bagaimana caranya melarang?

Marlena takut kepergian suaminya tidak untuk kembali, seperti suami para janda di kampungnya. Suami mereka juga pergi ke desa seberang untuk melawan penjajah, tetapi tak satupun dari mereka yang kembali pulang, hanya kabar kematiannya saja yang terdengar. Marlena berat untuk berkata iya, pun kalut untuk berkata tidak.

Hingga pada purnama berikutnya, Sakera kembali meminta ijin kepada istrinya. Marlena masih tak bisa menjawabnya. Ia lemas. Sakera sekali lagi meyakinkan istrinya bahwa ia akan kembali pulang, dan hidup harmonis dalam mahligai rumah tangga. Marlena belum menjawab. Sampai akhirnya Sakera memilih untuk tidak berangkat, namun dengan nada bergetar dan penuh yakin Marlena meminta kepada suaminya untuk segera berangkat ke medan perang.

“Wahai suamiku, berangkatlah. Segera berangkatlah sebelum purnama mengetahui kepergianmu.”

Sakera mengkecup kening istrinya tiga kali. Sebelum berangkat, Sakera memberikan selembar surat yang hanya boleh dibaca ketika ia tidak berhasil selamat untuk pulang ke rumah. Marlena menerima dengan tengan gemetar, pun hati yang berkecamuk oleh rasa takut. Bukankah semua istri akan mengkhawatirkan kepergian suaminya?

Sakera berangkat sebelum purnama datang. Saat malam nanti purnama datang, adalah purnama pertama bagi Marlena tanpa suaminya. Ia hanya berharap, saat purnama di bulan berikutnya akan kembali bersama dengan suaminya. Namun ternyata, sampai pada purnama bulan berikutnya, Sakera belum juga ada kabar. Marlena mulai gelisah, akan menjanda oleh peperangan.

Sampai pada purnama ketiga selepas kepergian suaminya, barulah Marlena mendapat kabar. Sakera meninggal saat perjalanan pulang. Perutnya dihunus oleh pedang panjang yang kemudian ditancapkan pada sebuah batang pohon durian dekat rumah istrinya. Mayatnya berdiri tegak pada sebuah pohon durian tersebut. Darahnya mengalir deras, merayap hingga tanah disekitar pohon durian itu berwarna merah. Merah darah.

Di tanah itu pula Sakera dimakamkan, seperti permintaannya yang ia tulis di selembar surat yang diberikan kepada istrinya sebelum berangkat ke medan perang. Abadikan jasadku, di tempat medan perangku, ditempatku gugur. Dan janganlah ada yang menginjakkan kakinya, selain istriku. Sesungguhnya, tidak akan ada pasang kaki yang bisa menginjakkan kakinya di tanahku tanpa memiliki hati yang baik.
  
Hingga kini, tanah itu tetap berwarna merah. Namun, tidak terlihat seperti merah darah. Orang-orang menyebutnya tanah merah.

****

Sudah tiga hari Marlena tinggal diatas tanah itu. Tak ada makanan, tetapi tak merasa lapar. Ia lebih senang tinggal disana, daripada di rumah tetapi serasa tinggal di ambang neraka. Setiap malam, ia berteman dengan kunang-kunang. Jika pagi, ia tak punya teman. Ia tidak ingin kembali pulang ke rumahnya.

Malam ini purnama akan datang. Sudah dua tahun Marlena setia berteduh dibawah pohon durian diatas tanah itu saat purnama datang. Biasanya, setelah purnama berakhir, ia akan pulang ke rumahnya, lalu akan kembali disaat purnama bulan berikutnya. Namun kali ini, ia akan terus tinggal diatas tanah merah itu. Tanah yang mengabadikan suaminya.

Malam  datang. Di langit, purnama terlihat sangat indah. Lebih indah dari yang pernah ia ketahui. Bulan terlihat lebih besar, dengan bintang-bintang yang menjadi sabuk langit. Marlena duduk di samping pohon durian, dengan menengadahkan satu tangannya.

Ya Tuhan,
Jika sedianya Engkau lahirkan aku ke dunia ini tidak untuk bahagia, aku terima. Aku tak pernah meminta kepada-Mu, tetapi kali ini aku akan meminta penuh harap. Jadikanlah aku sebatang pohon durian diatas tanah ini. Tanah merah. Aku ingin ikut abadi bersama suamiku,  yang telah kau ambil saat peperangan. Suami yang begitu mencintaiku.

Percuma aku hidup, tak ada guna yang aku berikan. Bahkan, tak ada kebahagiaan yang aku dapat. Suamiku telah Kau ambil, lalu Ibuku Kau pun ambil. Kini tinggal Abahku, tetapi ia tidak ingin aku hadir dalam kehidupannya. Aku terlalu buruk rupa untuk mendapat pengakuan sebagai anaknya.

Tuhan, hidupku sudah tak ada arti, dan tak ada guna. Maka jadikanlah aku sebatang pohon durian yang akan tumbuh abadi diatas tanah ini. Abadi bersama suamiku. Tuhan, kabulkanlah!

Bulan tiba-tiba redup, bintang tertutup oleh awan. Seketika, Marlena telah berubah menjadi pohon durian yang tumbuh di dekat pohon durian yang lain. Kini, diatas tanah itu ada dua pohon durian. Salah satunya adalah Marlena. Marlena yang berubah wujud. Marlena telah mati, lalu hidup sebagai pohon durian. Saat pagi hari, semua orang terheran-heran, sejak kapan pohon durian itu menjadi kembar.

Setiap kali purnama, pohon durian itu selalu menangis. Namun tak terdengar oleh telinga manusia. Yang terlihat saat pohon durian itu menangis, adalah ranting-ranting pohonnya yang melambai begitu cepat, sekalipun tidak ada angin yang berhembus.


Marlena tak pernah menyesal telah menjadi sebatang pohon. Setidaknya, ia dapat tinggal bersama dengan tanah suaminya. Setiap hari, setiap malam, dan setiap purnama ia akan terus bersama suaminya. Diatas tanah itu, ia akan abadi. Diatas tanah itu, ia akan bersama. Abadi untuk bersama. Bersama tanah suaminya, tanah merah.

Jadilah pembaca setia saya, siapa tahu jodoh!

0 komentar:

Posting Komentar