“Marlena!
Cepatlah pulang! Percuma saja kau tuangkan air matamu, pecundang itu tidak akan
menghapuskan air matamu. Dia tidak lagi ada tangan, bahkan hatinya telah hancur.
Dia hanya pecundang. Cepatlah pulang!”
Begitulah
bunyi pesan Abahnya yang tak suka ketika Marlena mengunjungi tanah merah. Tanah
itu hanya seluas setengah hektar. Hanya ada satu pohon durian yang tak pernah
berbuah diatas tanah itu. Bahkan, tidak ada pasang kaki yang mau melintas
diatas tanah itu. Namun, tidak dengan Marlena. Setiap kali purnama datang, ia selalu
pergi ke tanah itu. Menangis dibawah kaki pohon durian, kadang ia mengusap
tanah itu dengan sebelah tangannya, sedang sebelah tangan lainnya tidak ada.
Sejak lahir, ia tak punya tangan kiri.
Abahnya
pernah akan memotong sebelah kakinya menggunakan celurit karena ia masih sering
pergi ke tanah itu. Untung saja Marlena segera berlari ke tanah merah dan
berlindung dibawah pohon durian. Bukan Abahnya tak mengejar Marlena, hanya saja
Abahnya tak pernah bisa untuk menginjakkan kakinya diatas tanah merah itu.
Marlena
selamat. Tetapi ia tak bisa pulang. Memilih pulang, sama halnya dengan memilih
melompat ke jurang, karena Abahnya pasti telah menunggu untuk memotong kakinya.
Hanya Ibunya, yang dulu sering membela Marlena. Tetapi beliau telah kembali
pada Tuhan.
Sudah tiga
hari Marlena tinggal diatas tanah itu. Tak ada makanan, tetapi tak merasa
lapar. Ia lebih senang tinggal disana, daripada di rumah tetapi serasa tinggal
di ambang neraka. Setiap malam, ia berteman dengan kunang-kunang. Jika pagi, ia
tak punya teman.
****
Dua tahun
lalu, Marlena dinikahi oleh seorang lelaki yang juga berasal dari tempat tinggalnya.
Madura. Lelaki itu bernama Sakera. Pada masanya, Sakera merupakan pemuda
berhati malaikat. Ia adalah satu-satunya pemuda yang berani menentang kebijakan
penjajah Belanda pada tiga tahun lalu yang semerta-merta mempekerjakan rakyat pribumi
di ladang miliknya sendiri, dan merampas semua hasil panen para tani. Meski
demikian, banyak yang tidak menyenangi Sakera sebab diadu domba oleh kelompok
Belanda. Termasuk yang paling tidak suka kepada Sakera adalah Abah Badrul, Abah
Marlena.
Semalam
sebelum pernikahannya dengan Sakera, Marlena sempat bertanya banyak hal kepada
Ibunya. Marlena mulai bertanya kenapa ia dilahirkan sebagai manusia cacat. Cantikpun
tidak. Ia lebih pantas dipanggil si buruk rupa.
“Ibu,
mengapa Tuhan melahirkanku?”
“Karena
Tuhan sayang kepadamu, Nak.”
“Jika
Tuhan benar sayang, kenapa Tuhan melahirkanku dengan satu tangan, hidung yang
merata, kulit menggosong, dan mata yang samar untuk melihat kecantikanmu, Ibu?”
Ibunya
beranjak dari hadapan Marlena, lalu berdiri di depan jendela kamar. Membuka
tirai jendela, mencari bintang yang paling bersinar.
“Lihatlah
bintang itu! Yang paling bersinarlah selalu mencuri perhatian segala pandangan.
Tuhan melahirkanmu berbeda, agar semua orang dapat melihatmu seperti bintang
itu.”
“Tapi
kenyataannya, semua orang tak melihat diriku seperti bintang, aku tidak
terlihat seperti bintang, Ibu. Aku buruk rupa. Bahkan Abah sendiri tidak mau
mengakui kalau aku anaknya.”
Ibunya
cemas. Hatinya mulai rapuh mendengarkan kesedihan anaknya yang cuma satu. Semua
ibu pasti menginginkan anaknya terlahir sempurna. Cantik jika itu perempuan,
dan tampan jika itu laki-laki. Namun, apa lagi yang bisa ia perbuat jika itu
kehendak Tuhan? Tuhan tidak pernah salah menurunkan takdir. Tuhan lebih tahu
untuk memberikan pembahagian kepada hamba-Nya.
Setelah
terdiam barang sejenak, barulah ia kembali meyakinkan anak semata wayangnya
bahwa Tuhan akan memberikan pembahagian setelah kesedihannya. Meyakinkan
Marlena, bahwa ia adalah perempuan yang cantik. Bahkan lebih cantik dari teman
sebayanya yang telah bersuami. Setidaknya, Marlena lebih cantik hati.
“Setidaknya,
di dunia ini masih ada Ibu, dan calon suamimu yang melihatmu begitu sempurna,
Nak.”
Marlena
teringat dengan Sakera. Lelaki tampan yang rela memilih untuk menikah dengan
perempuan buruk rupa. Semua gadis desa menggilainya, tetapi lelaki itu tidak
pernah tergoda hatinya. Ia lebih memilih perempuan buruk rupa.
Sampai
saat ini, Marlena belum percaya bahwa ia akan menikah. Sudah tiga puluh tahun
ia mengharapakan cinta, namun tak mengharapkan cinta dari seseorang yang begitu
sempurna. Cukup yang sepadan dengannya, karena ia sadar sapalah ia. Tetapi
malam itu, Sakera benar datang ke rumahnya untuk melamarnya. Semula Abahnya
tidak setuju, karena memang ia tidak suka kepada Sakera jauh sebelum ia datang
untuk melamar.
Sakera kembali datang seminggu kemudian. Ia
berusaha meyakinkan Abah Marlena. Bahwa ia benar mencintai Marlena. Malam itu
sedang purnama. Mungkin cahaya purnama telah menghipnotis Abah Marlena untuk
menerima lamaran Sakera. Pernikahan antara Sakera dan Marlena akan
dilangsungkan saat purnama sebulan berikutnya.
“Aku
belum percaya, Sakera akan menikahiku karena ia mencintaiku. Ibu, apakah ada di
dunia ini lelaki tampan nan sempurna yang mencintai perempuan buruk rupa
sepertiku?”
“Tak
perlu cantik untuk dapat dicintai, Marlena. Justru jika ada lelaki yang
mencintai karena kecantikannya, itu bukan cinta, melainkan nafsu.”
Marlena
memeluk tubuh Ibunya dalam sepi. Sepi bukan karena malam yang gulita. Bukan.
Tetapi sepi karena hati mereka sedang menangis. Ibunya melepaskan pelukannya, dan
tersenyum kepada anaknya, lalu melangkah keluar dari kamar Marlena.
“Tidurlah,
besok kau akan melangsungkan pernikahan.”
Marlena
bangkit dan membalikkan badan menuju jendela kamar, lalu menatap ke langit. Ia
mencari bintang yang paling bersinar seperti kata Ibunya. Setelah menemukan, ia
berbisik pada dirinya sendiri: Benarkah
aku seperti bintang itu?
Marlena
melihat beberapa rumah joglo yang berbaris rapi di samping rumahnya. Di depan
rumah mereka, terdapat satu obor sebagai penerangan. Namun, jika purnama
datang, mereka tidak perlu menyalakan obor. Cukup cahaya bulan sebagai
penerangnya. Kini kampung itu telah damai, semua petani dapat bernapas lega
jika ingin bertanam di ladangnya sendiri. Semua berkat keberanian Sakera mengusir
koloni Belanda untuk jera menjajah di kampungnya.
****
Purnama
kembali datang. Pertanda usia pernikahan Marlena dengan Sakera genap satu
bulan. Marlena begitu mencintai suaminya. Hingga pada suatu malam kala purnama,
Marlena duduk di beranda rumahnya. Sakera baru datang dari langgar tempat ia mengajari anak-anak kampung mengaji.
“Marlena?
Sedang apa kau duduk di depan rumah, tak seperti biasanya? Segeralah masuk,
tidak enak jika dilihat tetangga. Hari sudah malam, harusnya kau menunggu di
dalam saja. Angin malam pun sedang tak bersahabat untuk dijadikan selimut, bisa
jadi kau akan sakit.”
Marlena
tersenyum sebelum menjawab, “aku sedang menikmati keindahan purnama. Suamiku, aku
ingin bertanya. Mengapa kau melamar dan menikahiku disaat purnama? Apa karena
kau menginginkan paras buruk rupaku ini terlihat sedikit lebih bersinar oleh
sapuan cahaya rembulan?”
“Kenapa
kau berpikir seperti itu? Istriku, aku bukanlah lelaki yang melihat kecantikan
seorang wanita agar bisa dicintai. Aku adalah lelaki yang berharap untuk bisa
mencintai seorang wanita yang setia, dan berbakti kepadaku, juga Tuhanku. Tuhan
telah menghadirkanmu. Dan aku, tidak pernah ragu akan pemberian Tuhan.”
Marlena
serius mendengarkan keterangan suaminya. Sakera beralih untuk duduk di samping
istrinya. Mereka duduk bersila, menghadap ke rembulan yang samar tertutup oleh
daun-daun pohon bambu.
“Istriku,
satu bulan sebelum aku datang untuk melamarmu, aku pernah bermimpi tentangmu,
kala itu sedang purnama. Aku bermimpi bahwa engkau adalah calon istri yang
Tuhan takdirkan untuk bisa bahagia bersamaku. Sebab itulah, aku melamar dan
menikahimu disaat purnama pula. Istriku, jangan ragukan lagi tentang
kecintaanku terhadapmu. Kalaupun kau ingin bukti dariku, akan aku lakukan.
Apapun.”
Sakera
mengkecup kening istrinya. Kecupan kasih sayang. Kecupan yang dapat membuat
semua hati perempuan melayang. Marlena tersenyum. Pikirnya, ia tak perlu meminta
suaminya melakukan sesuatu untuk membuktikan kecintaannya.
Setelah
cukup senang, Sakera berusaha menyampaikan sebuah berita yang telah lama ingin
disampaikan kepada istrinya tetapi ia tak tahu waktu yang tepat. Kali ini ia
rasa adalah waktu yang tepat. Dengan berhati-hati, Sakera menyampaikan berita
kepergiannya ke desa seberang. Di desa tersebut masih saja ada penjajah Belanda
yang tidak juga angkat kaki.
Berita itu
membuat jantung Marlena seolah berhenti berdetak. Desiran nadi yang tak lagi
terasa. Ia tidak punya maksud untuk melarang kepergiannya, ataupun
menginjinkan. Sekalipun ia melarang, pastilah suaminya akan menurut. Tetapi
bagaimana caranya melarang?
Marlena
takut kepergian suaminya tidak untuk kembali, seperti suami para janda di
kampungnya. Suami mereka juga pergi ke desa seberang untuk melawan penjajah,
tetapi tak satupun dari mereka yang kembali pulang, hanya kabar kematiannya
saja yang terdengar. Marlena berat untuk berkata iya, pun kalut untuk berkata
tidak.
Hingga
pada purnama berikutnya, Sakera kembali meminta ijin kepada istrinya. Marlena
masih tak bisa menjawabnya. Ia lemas. Sakera sekali lagi meyakinkan istrinya
bahwa ia akan kembali pulang, dan hidup harmonis dalam mahligai rumah tangga.
Marlena belum menjawab. Sampai akhirnya Sakera memilih untuk tidak berangkat,
namun dengan nada bergetar dan penuh yakin Marlena meminta kepada suaminya
untuk segera berangkat ke medan perang.
“Wahai
suamiku, berangkatlah. Segera berangkatlah sebelum purnama mengetahui
kepergianmu.”
Sakera
mengkecup kening istrinya tiga kali. Sebelum berangkat, Sakera memberikan
selembar surat yang hanya boleh dibaca ketika ia tidak berhasil selamat untuk
pulang ke rumah. Marlena menerima dengan tengan gemetar, pun hati yang
berkecamuk oleh rasa takut. Bukankah semua istri akan mengkhawatirkan kepergian
suaminya?
Sakera
berangkat sebelum purnama datang. Saat malam nanti purnama datang, adalah
purnama pertama bagi Marlena tanpa suaminya. Ia hanya berharap, saat purnama di
bulan berikutnya akan kembali bersama dengan suaminya. Namun ternyata, sampai
pada purnama bulan berikutnya, Sakera belum juga ada kabar. Marlena mulai
gelisah, akan menjanda oleh peperangan.
Sampai
pada purnama ketiga selepas kepergian suaminya, barulah Marlena mendapat kabar.
Sakera meninggal saat perjalanan pulang. Perutnya dihunus oleh pedang panjang
yang kemudian ditancapkan pada sebuah batang pohon durian dekat rumah istrinya.
Mayatnya berdiri tegak pada sebuah pohon durian tersebut. Darahnya mengalir
deras, merayap hingga tanah disekitar pohon durian itu berwarna merah. Merah darah.
Di tanah
itu pula Sakera dimakamkan, seperti permintaannya yang ia tulis di selembar
surat yang diberikan kepada istrinya sebelum berangkat ke medan perang. Abadikan jasadku, di tempat medan perangku,
ditempatku gugur. Dan janganlah ada yang menginjakkan kakinya, selain istriku. Sesungguhnya,
tidak akan ada pasang kaki yang bisa menginjakkan kakinya di tanahku tanpa memiliki
hati yang baik.
Hingga
kini, tanah itu tetap berwarna merah. Namun, tidak terlihat seperti merah
darah. Orang-orang menyebutnya tanah merah.
****
Sudah
tiga hari Marlena tinggal diatas tanah itu. Tak ada makanan, tetapi tak merasa
lapar. Ia lebih senang tinggal disana, daripada di rumah tetapi serasa tinggal
di ambang neraka. Setiap malam, ia berteman dengan kunang-kunang. Jika pagi, ia
tak punya teman. Ia tidak ingin kembali pulang ke rumahnya.
Malam ini
purnama akan datang. Sudah dua tahun Marlena setia berteduh dibawah pohon
durian diatas tanah itu saat purnama datang. Biasanya, setelah purnama
berakhir, ia akan pulang ke rumahnya, lalu akan kembali disaat purnama bulan
berikutnya. Namun kali ini, ia akan terus tinggal diatas tanah merah itu. Tanah
yang mengabadikan suaminya.
Malam datang. Di langit, purnama terlihat sangat
indah. Lebih indah dari yang pernah ia ketahui. Bulan terlihat lebih besar,
dengan bintang-bintang yang menjadi sabuk langit. Marlena duduk di samping pohon
durian, dengan menengadahkan satu tangannya.
Ya Tuhan,
Jika sedianya Engkau lahirkan aku ke
dunia ini tidak untuk bahagia, aku terima. Aku tak pernah meminta kepada-Mu,
tetapi kali ini aku akan meminta penuh harap. Jadikanlah aku sebatang pohon durian
diatas tanah ini. Tanah merah. Aku ingin ikut abadi bersama suamiku, yang telah kau ambil saat peperangan. Suami
yang begitu mencintaiku.
Percuma aku hidup, tak ada guna yang
aku berikan. Bahkan, tak ada kebahagiaan yang aku dapat. Suamiku telah Kau ambil,
lalu Ibuku Kau pun ambil. Kini tinggal Abahku, tetapi ia tidak ingin aku hadir
dalam kehidupannya. Aku terlalu buruk rupa untuk mendapat pengakuan sebagai
anaknya.
Tuhan, hidupku sudah tak ada arti, dan
tak ada guna. Maka jadikanlah aku sebatang pohon durian yang akan tumbuh abadi
diatas tanah ini. Abadi bersama suamiku. Tuhan, kabulkanlah!
Bulan
tiba-tiba redup, bintang tertutup oleh awan. Seketika, Marlena telah berubah
menjadi pohon durian yang tumbuh di dekat pohon durian yang lain. Kini, diatas
tanah itu ada dua pohon durian. Salah satunya adalah Marlena. Marlena yang
berubah wujud. Marlena telah mati, lalu hidup sebagai pohon durian. Saat pagi
hari, semua orang terheran-heran, sejak kapan pohon durian itu menjadi kembar.
Setiap
kali purnama, pohon durian itu selalu menangis. Namun tak terdengar oleh
telinga manusia. Yang terlihat saat pohon durian itu menangis, adalah ranting-ranting
pohonnya yang melambai begitu cepat, sekalipun tidak ada angin yang berhembus.
Marlena
tak pernah menyesal telah menjadi sebatang pohon. Setidaknya, ia dapat tinggal
bersama dengan tanah suaminya. Setiap hari, setiap malam, dan setiap purnama ia
akan terus bersama suaminya. Diatas tanah itu, ia akan abadi. Diatas tanah itu,
ia akan bersama. Abadi untuk bersama. Bersama tanah suaminya, tanah merah.
0 komentar:
Posting Komentar