Untuk : Dia
Untukmu yang masih tetap indah di pelupuk
mataku, untukmu yang masih abadi dalam benam hatiku, untukmu yang telah datang
lalu menghilang, aku ingin bertanya kepadamu; Ingatkah engkau akan aku ? Jika
memang iya, apa yang kau ingat tentangku ? Aku masih mengingatmu, kau yang dulu
beri janji hati, lalu lukai hati.
Aku ingin bertanya, banyak bertanya dalam
suratku ini. Semoga tak kau jawab hanya dengan genangan air mata, karena
ternyata pertanyaanku menyayat hatimu─sebab ulahmu sendiri yang dengan sengaja
meninggalkanku, dulu.
First question;
Saat kau pertama mengenalku, apakah tak kau
pandang mataku yang sedang berbinar, sebab kau ada di depanku ?
Aku memandangmu sangat dalam, ku masuki kedua bola
matamu, aku berusaha meluluhkanmu. Akhirnya kau tersenyum untuk ku─senyum
pertama kalimu. Aku ikut tersenyum bersamamu. Mengertikah engkau saat itu,
bahwa ku terjerat oleh senyummu ?
Second question;
Saat aku bilang suka kepadamu, sampai ku katakan
sayang─yang ku lirihkan tepat di belakangmu, apakah kau mengerti, bahwa sayangku
tak pernah luput oleh hati yang putih, ikhlas ?
Lalu, kau menoleh ke arahku. Kau tak langsung
menjawabnya, melainkan tersenyum. Senyum yang sangat lebar, sepertinya aku tahu
setelah itu kau berkata apa. Kau menerima cintaku, dengan berkata serupa
denganku. “Aku juga menyayangimu.” Kini giliran ku yang tersenyum kepadamu.
Kini ku bertanya, siapakah yang menyampaikan
rasa sayangmu dulu. Hatimu, atau lisanmu ?
Third question;
Kali ini ku ingat, saat pertama kali ku genggam
tanganmu. Secara bersamaan kita saling memandang, kerning matamu terpancar
indah. Untuk beberapa detik, ku tak berkedip sebab tak ingin kehilangan tatapan
indahmu. Begitupun dengan kau, memandangku sangat tajam, melelehkan hati yang
telah meleleh olehmu. Barulah kita melepaskan genggaman kita, dan tak saling
memandang. Namun, detak jantung belum kembali berdetak semula. Kita seperti
romansa, yang tak ingin kehilangan setiap detik keindahannya.
Aku kembali bertanya, sebab apa kau memandangku,
dan menahan tanganku tak bergerak diantara sela-sela jemarimu ?
Forth question;
Angin laut berdesir syahdu, bagai alunan piano
yang sedang bergelombang. Burung kecil bersama kelompoknya, ikut mendayu-dayu
dengan nyanyian khas mereka. Sedang matahari, mengintip kita dibalik
peraduannya─kala itu senja. Aku memelukmu mesra, dan kurasakan detak jantungmu
menyatu dengan jantungku, berdetak bersamaan. Sungguh, aku seperti sedang
mendayu bersama kelompok burung itu. Mendesir bersama angin laut, dan tertiup
hingga ke angkasa. Pelukmu, menjadi penenang jiwa. Kala itu senja.
Kali ini, dengarkan ku bertanya. Beri ku arti
untuk menjelaskan pada senja, akan peluk eratmu kala itu, yang seolah kau tak
ingin lepaskan aku ?
Fifth question;
Di tempat yang sama saat kau memelukku, ombak
tak terlihat menghanyutkan apapun─tenang seperti mati. Aku mencoba mencari
burung yang akan bernyanyi menutup senja, tapi tak terdengar. Kemana perginya
matahari ? Ia tak sedang mengintipku. Ada apa dengan senja kala itu, tak sepandang
ku melihatnya kemarin─ku bertanya dalam hati. Ternyata ku tahu maksud senja, mengapa
ia menutup diri, menyembunyikan rautnya. Kau katakan, “Akhiri saja cinta ini. Aku
ingin sendiri, seperti senja yang selalu sendiri.” Ombak menghanyutkan hatiku,
termakan oleh binatang lautan, dan berdarah. Kala itu laut tampak merah
bercampur darah. Kau pergi, dan setiap langkah kakimu, terhitung semakin
menyayat hatiku, karena kali ini kau pergi untuk menjauh. Laut menenggelamkanku,
menyembunyikan air mata. Andai saja kau merasa seperti aku, tak kan pernah kau
lakukan itu padaku. Mengapa, langkah kaki menjadi pilihan akhirmu untuk menyakitiku
? Bukankah kau masih punya banyak cara untuk menyakitu, menikam dengan pedang
misalkan. Tak perlu hati yang kau sasar.
Sekarang aku kan bertanya, akan sebuah
pertanyaan yang mungkin akan mengkalutkan bibirmu untuk berucap. Mendinginkan
hatimu untuk merasakannya. Dan mungkin akan meneteskan air matamu, saat hatimu
seolah berperan seperti hatiku. Apapun yang terjadi, ku mohon kau tersenyum
lalu menjawabnya.
Last question;
Cinta atau dusta ? Janji yang kau ucap bersama
senyummu, sehingga membuat mata berbinar akan kata yang kau rangkai begitu indah
? Mengapa perlu kau rangkai kata indah dalam bait janjimu, jika kau tak
mengerti maknanya, dan akhirnya kau dustakan ?
Cinta atau dusta ? Rasa kasih dan sayang yang
selalu kau lantunkan dikala aku akan tertidur, dan terjaga dari mimpiku ?
Mengapa perlu berucap sayang, jika hanya sedang bersandiwara dalam kata.
S-a-y-a-n-g memang terangkai sederhana, tetapi jangan kau ucap dengan sederhana
pula, ia memiliki makna yang dapat kau temukan jika hatimu sedang tak berdusta.
Kau seolah menulis kata itu dalam secarik kertas, yang dengan mudah dapat kau
hapus. Ku sadarkan kau, bahwa kau sedang menulisnya di atas hati, bayangkan
betapa sakitnya saat kau mencoba menghapusnya ?
Cinta atau dusta, peluk erat seolah mengikat
dikala senja itu ? Mungkinkah kau sedang berkata sesuatu pada senja saat tubuh
kita menjadi satu, dan saat ku tak dapat
melihat wajahmu. Pesan apa yang sedang kau sampaikan pada senja, hingga ia tahu
bahwa hari itu kau akan meninggalkanku ? Jangan terlalu erat memeluk, jika kau
paksa untuk melepaskannya saat eratnya telah mengikat─membelukar.
Cinta atau dusta, semua kata yang kau ucap,
segala kasih yang kau sampaikan, dan setiap pelukan yang kau rapatkan. Sungguh
ku tak menyangka, jika ternyata itu bukan cinta. Kini kesendirianku
menjawabnya, kini sakit hatiku mengartikannya. Ku ingin memberitahumu, tentang
cinta. Cinta adalah aku, yang tetap memaafkan saat kau lantarkan, berusaha
menerima saat disakiti, dan segera menghindar saat kau telah bahagia bersamanya.
Cinta adalah aku, yang tak pernah mengerti mengapa selalu menantimu, meski
catatan luka selalu mengingatkan. Dan cinta adalah aku, yang tetap setia
pada satu kata meski terasa luka, yaitu ‘kamu’
!
Cinta atau dusta : Ku kira kau mencintaiku,
ternyata hanya belaka !
Dari : nya
Cinta memiliki banyak misteri yang membuat kita menebak-nebak :)
BalasHapus