“Kamu apa-apaan sih ? Sekarang juga aku minta,
kamu jangan pernah ganggu hidup aku lagi. Lupain semua tuh, kisah antara aku
dan kamu. Aku sudah tidak seperti yang dulu lagi !”
Setelah itu, tanpa kembali tersenyum ke arahku, kau
berlalu. Bahkan kau tidak memberiku kesempatan untuk mensuarakan sebait sajak
perpisahan.
Kali ini, aku kembali memutar kata-kata terakhir
yang kau kenangkan saat kita berpisah, lebih tepatnya saat kau memilih untuk
mengakhiri jalan kita saat di persimpangan. Kau memilih arah jalanmu sendiri,
sebab itu kau lepaskan genggaman tangan yang telah hangat merekat. Lalu, kau
biarkan aku tertanam diatas tanah, sendiri, kering, lalu tumbang saat angin
menghembusku.
“Aku mencintaimu, sungguh ! Tolong, ijinkan aku
untuk tidak membiarkanmu pergi bersama dia. Bukankah kau masih berlidah saat
mengatakan cinta untukku ? Bukankah hatimu masih lengkap saat kau bilang sayang
padaku ? Bukankah kamu masih dirimu saat berjanji setia padaku. Lalu ? Apa yang
membuat kau beralih ? Ku mohon, tetap harghai cintaiku─tetaplah cintai aku.”
Barulah setelah aku ucapkan kalimat itu, kau hunuskan
tajamnya kata-katamu yang kali ini semakin cepat berputar di ingatan. Menyayat.
Apakah aku memang menggangumu ? Apakah ungkapan cintaku telah menjadi benalu
bagimu ? Sampai kau mengusirku ? Lalu, kau anggap aku apa saat masih bersammu, ‘benalu’
? Jika iya, pantas saja. Pantas saja kini aku dilemparkan, ditinggalkan, saat
kau telah temukan tempat yang tepat bagiku. Di kubangan pilu bercambur nanah,
engkau membuangku, menyisihkanku, bahkan secuil hatimu pun aku tak mendapat
tempat. Apakah itu tempat si benalu sepertiku ?
Sekedar tak kusangka, begitu cepat waktu
mengubah ingatanmu, atau memang kau sengaja mempercepatnya, untuk segera menyingkirkanku
? Kini aku bagaikan lukisan, yang tergantung di tembok sebagai hiasan. Kadang
dilihat oleh sepasang mata─hanya sebentar. Lebih sering diabaikan, diacuhkan.
Bukankah setiap lukisan mempunyai arti atas garis yang ia lengkungkan ? Memiliki
arti atas warna yang memberi rupa ? Tetapi kenapa tak juga orang-orang
melihatnya, sama sepertimu. Kini aku sekedar kenangan, bukan bagimu, aku rasa
kau tak mengenangku, sedikitpun tidak. Lalu, hanya kenangan untukku sendiri.
Aku sering mengadu pada Tuhan, bersuara keras,
berharap Tuhan mendengar lalu mewakili jawabannya lewat kunang-kunang yang
hinggap di ranting-ranting pohon malam itu. Lalu aku sadar, siapalah yang akan
mendengar suara si benalu ? Terlalu sombong, berfikir bahwa suara mulut si benalu
akan di tanggapi, masih untung jika ada yang mendengar. Bahkan, Tuhan tak
mewakili jawabannya pada kunang-kunang. Aku menghardik kunang-kunang itu !
“Tuhan, kenapa ada kata yang terucap kalau tak
abadi untuk di ingat ? Tuhan, kenapa ada janji jika masih Engkau sediakan
kedustaan ? Tuhan, kenapa Engkau ciptakan hati yang kasih jika perih akan
datang menjadi dayangnya ? Tuhan, tak usah Engkau berikan bahagia, jika rasa
sakit nyatanya datang, dan bersarang lebih lama. Tuhan, kenapa Engkau ciptakan
lidah yang tak bertulang, hingga memudahkan mereka untuk berkata semanis bibir
merah mereka, lalu dalam sekejap mendustakannya ? Tuhan, untuk apa Engkau
datangkan cinta ? Jika perjalanannya dipenuhi luka ? Tuhan, aku tahu,
Engkau Maha Segalanya, untuk itu bisakah
Engkau hentikan bumi dari putarannya saat aku sedang merasakan bahagia dengan
cintanya, agar selamanya aku dan dia bersama.”
Setelah itu aku tersungkur diatas tanah yang
berlumpur oleh tetes air mataku sendiri. Aku menangis layaknya seorang ibu yang
kehilangan anaknya, lalu kunang dengan cahaya paling terang menghampiri.
Sepertinya Tuhan telah mewakili jawabannya. Aku merasa senang. Oh tidak, kunang
itu hanya menambah pilu di dada, membuatku tak kuat untuk memikulnya.
“Tuhan, aku mencintai dia. Sampaikan padanya lewat
angin yang selalu Engkau tiup disela kerinduan. Jangan sertakan, siapa
pengirimnya. Buatlah ia mengira, seolah yang sedang mengirim angin itu adalah
orang yang saat ini sangat ia cintai. Jangan tanyakan apa aku ikhlas
melakukannya, aku ikhlas sebab ku sungguh mencintai. Jangan tawarkan kembali
luka padaku, sebab ku telah terbiasa merasakannya. Tuhan, biaskan senyumnya
agar terlihat olehku diatas genangan air mataku ini, Tuhan aku sungguh
memintanya, sebab aku sangat merindunya ! Tuhan, Engkau pernah berjanji pada
hambanya yang sedang tersakiti, akan mengabulkan segala permohonannya. Untuk
itu aku bermohon, bahagiakanlah dia yang selalu terselip dalam doaku,
temukanlah dia pada lelaki yang telah merelakan tulang rusuk untuknya. Tuhan,
biarkan ia tetap menutup mata akan kesedihanku, agar aku temukan senyum
diantara bibirnya. Tuhan, bukankah Engkau maha tahu, dan Engkau pasti tahu,
siapa dia.”
-Aku telah tenggelam dalam kubangan air mataku
sendiri-
Wah, galau akut ini penulisnya :v Semoga cepet bahagia deh sama siapapun itu..
BalasHapuslgi galau nih.
BalasHapussmoga dpt apa yg di inginkan dh :D
Aku udah baca dari postingan pertama 30 hari menulis surat cinta, termasuk yang ini.
BalasHapusjujur ya, sebenernya menarik sih isinya, cuma pas dibaca boringgg, terlalu flat menurutku. Saranku aja sih, mungkin pas di ending bisa diberi kalimat klise yang bakal melekat banget di hati pembaca, atau lebih di heboh-kan lagi supaya ada kesan.