Rabu, 04 Februari 2015

Hadirmu, Seperti Angin

Untuk : Pemilik tahi lalat tipis diatas bibir kanan


Saat aku mulai menulis surat ini, sempat ku hentikan niatku, karena aku ragu kalau engkau akan sudi untuk mengeja isi surat ini. Aku menulisnya penuh kehatian, agar tak ada kata yang bermakna pedang bagimu, menghunus, lalu melukaimu. Walau ku ingat, bahwa dulu yang telah meninggalkanku itu adalah kamu, tetapi sampai saat ini tak sedikitpun terbesit untuk membalas rasa sakitku.

Sekedar penghibur rasa rinduku, meski tak pernah terobati, aku pancing perasaanku dengan mengirim sepucuk surat ini untukmu. Dan maaf, jika aku telah lancang untuk berani berkata jujur seperti yang terabjad dalam kertas usang ini. Yang perlu kamu lakukan, membacanya, lalu abaikan apa yang baru kamu baca. Hanya secercah itu pengharapan dariku yang ingin aku cuil dari sisa kebaikanmu.

Sepanjang hidupku, hanya kehadiranmu lah yang telah mengalihkan kebahagiaan duniaku. Saat pertama kali aku bertemu denganmu, kamu tahu seperti apa rasanya ? Seperti kebahagiaan yang sedang digandrungi oleh sosok manusia yang telah lama berdiri kehausan di tengah padang pasir kering, panas, lalu datanglah angin berderu sangat sejuk dan meniupkan hujan untuk membasahi kekeringan. Dan kamulah yang datang bagai angin bagiku, lalu menghilangkan kegerahan dalam hati, yang telah lama tandus akan cinta.

Sepanjang hidupku, hanya pertemuan antara aku dan kamu yang selalu membekas rindu. Setiap malam, saat ku sebut namamu, aku serasa sedang berada dalam dekap pelukmu. Hangat, dan sangat erat. Dan saat aku mulai membayangkan dirimu, aku serasa sedang mengkecup kelopak mata sayupmu. Aku belum pernah berkhayal sejauh ini, mungkin harusnya aku sadar dengan khayalanku, meski khayalku selalu terasa indah semenjak engkau yang menjadi pemeran utamanya.

Yang ku ingat saat pertama kali bertemu denganmu, adalah sapaan manja yang terbata pelan nan lembut dari bibir merahmu. Demi Tuhan, hatiku serasa runtuh mendengar suaramu. Aku belum pernah bersumpah akan sebuah kesungguhan, baru kali ini aku mengucapkannya.

“Hallo.” Kamu menyapaku sangat manja.
Seandainya saat itu ada malaikat yang bersedia meminjamkan sayapnya untukku, maka akan aku pinjam untuk terbang ke surga. Aku mempercayai diriku, bahwa akulah orang paling bahagia sedunia saat itu. Aku sungguh.

Matamu menatapku sangat tajam, bahkan aku juga menatapmu sangat tajam. Dari bola matamu, aku melihat bayangan diriku. Mungkin dari bola mataku, kamu juga melihat bayangan bidadari yang berdiri di depanku. Itulah dirimu. Untuk sesaat, kita saling memandang tanpa banyak bicara. Masih ingatkah ?

Bahkan hingga kini, saat aku menulis ulang kisah kita yang mulai usang, kebahagiaannya masih serasa sama, utuh, dan tak berkurang. Hanya satu yang berkurang, itu hadirmu.

Aku benar tak menyangka, bahwa pertemuan kita dulu, akan bermuara pada perpisahan. Kini jaraknya, telah jauh memisahkan antara aku dan kamu. Dan aku baru sadar, bahwa pertemuan adalah saat dimana kita sedang menanti sebuah perpisahan. Waktu, telah mempertemukan kita, dan juga memisahkan.

Kamu adalah kesan pertamaku saat kita pertama kali berjumpa.

Sungguh, kini aku sangat merindumu. Mungkin terdengar tidak mungkin, karena pertemuan itu sudah lama sekali terjadi. Tapi demi Tuhan, pertemuan itulah yang kini membuatku merana untuk menanti kembali bertemu denganmu. Lagi-lagi aku bersumpah atas sebuah kesungguhan.

Sejak berakhirnya pertemuan itu, aku tak lagi mendengar kabarmu. Engkau seolah sengaja membiarkan pertemuan itu menggantung, dan akhirnya mati. Apakah kamu lupa, bahwa pertemuan itu terjadi karena kita saling menyepakati ? Tetapi kenapa kamu menggantungnya ?

Lagi aku ucapkan; Kamu adalah kesan pertamaku saat kita pertama kali berjumpa.

Dan benar, hadirmu seperti angin. Yang tanpa disangka datang menyapaku, dan disaat aku terdiam untuk merasakan sejuknya, engkau malah meniupkan luka dan membuatnya menganga.

Disaat angin yang menyapaku telah membuatku terlena, ternyata engkau membawaku jauh ke dalam rasa pilu yang berkepanjangan hingga kini engkau berlalu. Entah angin itu bertiup kemana lagi, yang jelas aku selalu menunggu dimana ia dulu bertiup dan menghempasku.

Dan saat ini, akhirnya aku sadar diri dengan khayalku dulu. Bukan untuk berhenti berkhayal tentangmu, tetapi berhenti untuk berharap bahwa khayalan itu  akan menjadi sebuah kenyataan.

Terakhir aku ucapkan; Kamu adalah kesan pertamaku saat kita pertama kali berjumpa, UNTIL NOW.


Dari : Lelaki pemilik lesung pipi

Jadilah pembaca setia saya, siapa tahu jodoh!

8 komentar:

  1. Selalu membuatku bergumam dalam hati tulisannya :)

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Jangan buka aib mas :D
      Makasih kunjungannya kakak :)

      Hapus
  3. Dari kemarin" seringnya ketemu blog cewe yg ngirim surat cinta kek gini, termasuk aku.
    Eh, sekarang cowo yang nulis. Syahdu~~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan-jangan aku bukan cowok :D Hehehe
      Makasih kunjungannya :) Nama blogmu apa, biar bisa aku baca juga surat-suratnya

      Hapus
  4. imas nulisnya pake hati ya? hiihhh mengorek hati banget, lalu membuat lukanya kembali terbuka *hiks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiks. Jangan menangis :D Atau siapkan tisu sambil membaca *hiks

      Hapus