Untuk : Pemilik tahi lalat tipis diatas bibir kanan
Saat aku mulai menulis surat ini, sempat ku
hentikan niatku, karena aku ragu kalau engkau akan sudi untuk mengeja isi surat
ini. Aku menulisnya penuh kehatian, agar tak ada kata yang bermakna pedang
bagimu, menghunus, lalu melukaimu. Walau ku ingat, bahwa dulu yang telah
meninggalkanku itu adalah kamu, tetapi sampai saat ini tak sedikitpun terbesit
untuk membalas rasa sakitku.
Sekedar penghibur rasa rinduku, meski tak pernah
terobati, aku pancing perasaanku dengan mengirim sepucuk surat ini untukmu. Dan
maaf, jika aku telah lancang untuk berani berkata jujur seperti yang terabjad
dalam kertas usang ini. Yang perlu kamu lakukan, membacanya, lalu abaikan apa
yang baru kamu baca. Hanya secercah itu pengharapan dariku yang ingin aku cuil
dari sisa kebaikanmu.
Sepanjang hidupku, hanya kehadiranmu lah yang
telah mengalihkan kebahagiaan duniaku. Saat pertama kali aku bertemu denganmu, kamu
tahu seperti apa rasanya ? Seperti kebahagiaan yang sedang digandrungi oleh
sosok manusia yang telah lama berdiri kehausan di tengah padang pasir kering,
panas, lalu datanglah angin berderu sangat sejuk dan meniupkan hujan untuk membasahi
kekeringan. Dan kamulah yang datang bagai angin bagiku, lalu menghilangkan kegerahan
dalam hati, yang telah lama tandus akan cinta.
Sepanjang hidupku, hanya pertemuan antara aku
dan kamu yang selalu membekas rindu. Setiap malam, saat ku sebut namamu, aku
serasa sedang berada dalam dekap pelukmu. Hangat, dan sangat erat. Dan saat aku
mulai membayangkan dirimu, aku serasa sedang mengkecup kelopak mata sayupmu. Aku
belum pernah berkhayal sejauh ini, mungkin harusnya aku sadar dengan
khayalanku, meski khayalku selalu terasa indah semenjak engkau yang menjadi
pemeran utamanya.
Yang ku ingat saat pertama kali bertemu
denganmu, adalah sapaan manja yang terbata pelan nan lembut dari bibir merahmu.
Demi Tuhan, hatiku serasa runtuh mendengar suaramu. Aku belum pernah bersumpah
akan sebuah kesungguhan, baru kali ini aku mengucapkannya.
“Hallo.”
Kamu
menyapaku sangat manja.
Seandainya saat itu ada malaikat yang bersedia
meminjamkan sayapnya untukku, maka akan aku pinjam untuk terbang ke surga. Aku
mempercayai diriku, bahwa akulah orang paling bahagia sedunia saat itu. Aku
sungguh.
Matamu menatapku sangat tajam, bahkan aku juga
menatapmu sangat tajam. Dari bola matamu, aku melihat bayangan diriku. Mungkin
dari bola mataku, kamu juga melihat bayangan bidadari yang berdiri di depanku.
Itulah dirimu. Untuk sesaat, kita saling memandang tanpa banyak bicara. Masih
ingatkah ?
Bahkan hingga kini, saat aku menulis ulang kisah
kita yang mulai usang, kebahagiaannya masih serasa sama, utuh, dan tak
berkurang. Hanya satu yang berkurang, itu hadirmu.
Aku benar tak menyangka, bahwa pertemuan kita
dulu, akan bermuara pada perpisahan. Kini jaraknya, telah jauh memisahkan
antara aku dan kamu. Dan aku baru sadar, bahwa pertemuan adalah saat dimana
kita sedang menanti sebuah perpisahan. Waktu, telah mempertemukan kita, dan
juga memisahkan.
Kamu adalah kesan pertamaku saat kita pertama
kali berjumpa.
Sungguh, kini aku sangat merindumu. Mungkin
terdengar tidak mungkin, karena pertemuan itu sudah lama sekali terjadi. Tapi
demi Tuhan, pertemuan itulah yang kini membuatku merana untuk menanti kembali
bertemu denganmu. Lagi-lagi aku bersumpah atas sebuah kesungguhan.
Sejak berakhirnya pertemuan itu, aku tak lagi
mendengar kabarmu. Engkau seolah sengaja membiarkan pertemuan itu menggantung,
dan akhirnya mati. Apakah kamu lupa, bahwa pertemuan itu terjadi karena kita
saling menyepakati ? Tetapi kenapa kamu menggantungnya ?
Lagi aku ucapkan; Kamu adalah kesan pertamaku saat
kita pertama kali berjumpa.
Dan benar, hadirmu seperti angin. Yang tanpa
disangka datang menyapaku, dan disaat aku terdiam untuk merasakan sejuknya,
engkau malah meniupkan luka dan membuatnya menganga.
Disaat angin yang menyapaku telah membuatku
terlena, ternyata engkau membawaku jauh ke dalam rasa pilu yang berkepanjangan
hingga kini engkau berlalu. Entah angin itu bertiup kemana lagi, yang jelas aku
selalu menunggu dimana ia dulu bertiup dan menghempasku.
Dan saat ini, akhirnya aku sadar diri dengan
khayalku dulu. Bukan untuk berhenti berkhayal tentangmu, tetapi berhenti untuk berharap
bahwa khayalan itu akan menjadi sebuah
kenyataan.
Terakhir aku ucapkan; Kamu adalah kesan
pertamaku saat kita pertama kali berjumpa, UNTIL NOW.
Dari : Lelaki pemilik lesung pipi
Selalu membuatku bergumam dalam hati tulisannya :)
BalasHapusMakasih kaka :)
HapusIntinya, belum mupon ye, hehe
BalasHapusJangan buka aib mas :D
HapusMakasih kunjungannya kakak :)
Dari kemarin" seringnya ketemu blog cewe yg ngirim surat cinta kek gini, termasuk aku.
BalasHapusEh, sekarang cowo yang nulis. Syahdu~~
Jangan-jangan aku bukan cowok :D Hehehe
HapusMakasih kunjungannya :) Nama blogmu apa, biar bisa aku baca juga surat-suratnya
imas nulisnya pake hati ya? hiihhh mengorek hati banget, lalu membuat lukanya kembali terbuka *hiks
BalasHapusHiks. Jangan menangis :D Atau siapkan tisu sambil membaca *hiks
Hapus