“Jikalau ada perempuan yang mendekat, dan
berkata mencintaiku, aku akan amat senang. Sudah lama aku tidak mendapatkan
cinta. Cinta yang sebenarnya. Bukan cinta yang datang, mengendap, lalu
menghilang. Sepanjang hidupku, aku hanya seorang diri, tak punya cinta. Hingga
kini usiaku sampai pada 186 tahun. Sekarang, aku lebih tak yakin, akan ada
perempuan muda yang mau mencintaiku.”
“Aku pernah muda. Pernah berusia remaja,
antara tiga belas tahun sampai dua puluh tahun. Tetapi aku tak pernah mendapat
cinta. Sekalipun ada, aku buang begitu saja. Aku sia-siakan cinta yang telah
Tuhan pernah berikan. Aku terlalu asyik bermain cinta. Lebih tepatnya
kupermainkan cinta.”
Sepasang kekasih itu belum mengerti dengan apa
yang baru saja aku ceritakan. Mereka masih saling menggenggam erat diatas meja
lingkar di sebuah taman. Mereka sengaja memperlihatkan kemesraannya. Sudah tahu
aku sedang dilanda sakit hati, masih saja pasangan itu mengumbar kemesraannya
di hadapanku. Atau memang mereka tidak tahu adat di negeri ini?
Aku baru saja akan melangkah pergi karena
geram, tetapi suara parau perempuan itu
menghentikan langkahku. Dengan berkata maaf sebelum bertanya, perempuan itu
menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku, mengapa aku bisa hidup
selama ini, dengan tubuh yang masih terlihat seperti berusia lima puluh tahunan?
Lalu, mengapa selama usiaku itu aku tak pernah merasakan cinta?
Sebenarnya aku enggan untuk bercerita. Tetapi
jika tidak aku turuti, perempuan itu akan terus merengek memohon kepadaku. Aku
paling tidak sanggup menolak permintaan seorang perempuan, walau sudah sering aku
mempermainkan hatinya. Tapi percayalah, aku masih punya hati yang bisa kupakai
untuk mengasihi perempuan.
Lalu, aku kembali duduk ditempatku tadi.
Perempuan itu tersenyum, mungkin sebagai tanda terimakasih karena aku mau
menuruti permintaannya. Aku tidak mau membalas senyumannya, aku memilih
menunduk. Bukan aku tak murah senyum, hanya saja aku ingin menjaga perasaan kekasihnya.
Sebelum aku bercerita, aku terlebih dulu
bertanya kepada mereka, sebagai basa-basi pembuka ceritaku. Kulihat mereka
masih menggunakan seragam putih abu-abu. Dibagian lengan kanan si perempuan,
aku melihat angka romawi XI A. Sedangkan pada lengan kanan si laki-laki, aku
melihat angka romawi XII A.
“Mengapa kalian tidak pulang untuk mengganti
seragam terlebih dulu?”
“Tidak mungkin aku harus pulang terlebih
dulu, karena pasti Mamaku tidak akan mengijinkan aku untuk kembali keluar
rumah,” perempauan itu menjawab sambil melepaskan genggaman tangannya. Kekasihnya
terperanjat.
“Apa orang tua kalian tidak cemas menuggu
kepulangan kalian?”
“Ah, pastilah engkau pernah muda. Tinggal ku
bilang saja kalau aku sedang ada tugas kelompok. Beres, urusannya.”
Aku mengangguk pelan, sedangkan mereka
tertawa cengengesan. Aku pun pernah seperti mereka, sebelum akhirnya aku sadar
bahwa semua itu salah.
****
Peristiwa
yang akan kuceritakan ini terjadi kurang-lebih 167 tahun yang lalu. Saat aku
masih berusia sembilan belas tahun.
Aku memiliki kekasih bernama Arista. Dia
begitu cantik. Wajahnya selalu terbalut oleh jilbab. Jika kau pernah melihat
purnama, kurasa tak berlebihan jika ku analogikan wajahnya dengan purnama. Senyumnya
selalu merekah setiap kali menyapaku. “Hay.”
Suaranya mirip dengan suara Ibuku yang telah lama meninggal.
Setiap sore, ku ajak Arista pergi ke ladang.
Mencari senja, dan jingga. Sebenarnya tak perlu dicari pun, senja selalu
datang. Hanya karena kami sedang kasmaran, semua dilakukan bersama. Arista
begitu senang setiap kali melihat jingga. Pernah ia merebah di pundakku. Aku
hanya terdiam, melihat dua keindahan. Senja dan senyum Arista.
Kurasa dia sangat mencintaiku. Begitupun aku.
Tetapi cinta kita berakhir setelah purnama ketiga. Dialah yang pergi, tetapi
bukan karena sudah tidak mencintaiku. Dia pergi, setelah mendapatiku
berselingkuh dengan teman kampusku. Namanya Diora.
Sepele saja alasanku berselingkuh dengan
Diora. Sebab selama aku berpacaran dengan Arista, tak secuil tubuhnya bisa aku
sentuh. Dia selalu menolak setiap kali aku ingin mencium bibirnya. Bahkan,
untuk menggandeng tangannya saja tak ia ijinkan. Aku jenuh. Aku lelaki yang
punya nafsu. Sungguh, tak ada sesal telah membuat Arista memutuskan cintaku.
Saat bersama Diora, aku dapat menjangkau
setiap jengkal tubuhnya. Dia memang tak begitu cantik jika dibandingkan dengan
Arista. Tapi tujuanku saat itu hanya untuk memuaskan nafsuku. Pikirku, cinta adalah
nafsu. Tidak salah bagiku jika aku melakukan hal tersebut. Toh, Diora juga
tidak menolak keinginanku.
Selama ini aku hanya diperbolehkan
memeluknya, menciumnya, dan meraba lekuk tubuhnya dari luar balutan kain yang
ia kenakan. Tetapi dasar lelaki, aku tak cukup puas hanya melakukan adegan
seperti itu. Hingga akhirnya, aku memaksa Diora untuk melakukan hubungan layaknya
suami-istri. Dia menolak. Aku kembali memohon, dia tetap menolak.
Tak kurang dari seperempat tahun, hubunganku
dengan Diora berakhir. Aku kembali berselingkuh dengan perempuan yang lebih tua
usianya dariku. Bahkan dia pernah bersuami. Dia bercerai sebab suaminya
berselingkuh dengan pelacur. Pikirku, bukanlah lebih jahat lelaki itu daripada
aku? Dia Jessica.
Diora benar-benar terpukul, hatinya kecewa
padaku. Ia mengatakan terlanjur cinta kepadaku. Biar saja. Percuma sekedar cinta, aku tidak butuh cinta. Aku butuh
kehangatan dalam bercinta.
“Coba saja dulu kau berikan apa yang kumau,
mungkin kau tak sesakit ini,” kataku kepada Diora.
“Bukankah sudah aku berikan semuanya
kepadamu? Hanya saja aku tidak ingin melakukan hal itu jika kita belum menikah.
Menikahlah denganku, Indra. Akan aku puaskan kau sepenuhnya,” Diora memelas
dihadapanku. Bahkan sampai bersujud di lututku. Hatiku telah membatu. Aku
terlanjur menyatakan cinta kepada Jessica. Lagipula, aku belum ingin menikah.
Aku dan Jessica sering bertemu, dia akan menjemputku
di kantin kampus. Setelah dapat dua bulan hubunganku dengan Jessica, dia
mengajakku kerumahnya. Ternyata ia hanya tinggal sendiri setelah menjanda. Dia
membawaku ke kamarnya. Pikirku, setan akan berubah menjadi Jessica. Lalu, Jessica
benar berubah menjadi setan, ia melepaskan pakaian yang melilit ditubuhnya. Sebentar
saja, kini ia berdiri didepanku tanpa busana. Tubuhnya masih terlihat seperti
perempuan perawan. Sungguh jika ia tak memberitahuku bahwa ia pernah bersuami,
akan aku kira dia masih perawan.
“Kemarilah,
sayang.”
Tahukah engkau? Suara itu menyihirku. Suara
itu menghilangkan akal sehatku. Jessica menarik kerah bajuku, lalu menghempaskanku
diatas kasur. Aku memilih diam. Baru kali ini aku memiliki kekasih, yang tanpa
kuminta dia mengerti dengan inginku. Lebih tepatnya keinginan nafsuku.
Jessica duduk diatas perutku. Dia membelai
rambutku. Lalu turun ke bibirku. Ia tersenyum. Lalu, Jessica mendekatkan
wajahnya pada wajahku. Ia meraih bibirku, lalu mengecupnya. Aku tersihir oleh
kecupan Jessica, tak ayal akupun melumat bibirnya. Terdengarlah suara lenguhan
dan desahan.
Aku berhenti barang sejenak. Ku lirik wajah
sepasang kekasih remaja didepanku yang sejak tadi antusias mendengar ceritaku.
Wajah si perempuan datar, mulutnya sedikit menganga. Mungkin tak percaya dengan
ceritaku, atau tak percaya dengan apa yang telah aku lakukan. Sedangkan wajah
si lelaki, hanya menyimpulkan sedikit senyuman, dengan bintik keringat di ujung
dahinya.
“Setelah melalukan itu, kmau kembali
berselingkuh dari Jessica?” perempuan itu bertanya dengan sedikit berbisik.
“Ya, pada akhirnya. Setelah aku berkali-kali
melakukan hubungan suami-istri dengan Jessica, dia hamil. Aku bukan tak mau
bertanggung jawab, hanya saja ku mulai tak lagi mencintainya. Percuma aku
nikahi, jika aku ceraikan juga pada akhirnya. Aku memilih meninggalkan dia. Bukan
soal mudah aku meninggalkan Jessica, sebab kutinggalkan dia dalam keadaan
mengandung anak dari perbuatan haramku.”
Aku melihat perempuan yang sedang mendengarkan
ceritaku sedang menitikkan air mata. Sepertinya ia bersimpati kepada wanita
yang pernah aku permainkan hatinya. Dan dia menatapku dengan wajah
bersungut-sungut. Sudah ku kira, semua akan membenciku setelah mendengarkan
ceritaku. Bahkan, aku sendiri mulai membeci diriku.
****
Jika kisah sebelumnya terjadi 167 tahun lalu,
ceritaku yang ini terjadi setahun setelahnya. Tepatnya saat aku berusia dua
puluh tahun.
Jessica, bukanlah wanita terakhir yang pernah
singgah di hatiku, yang lalu kupermainkan begitu saja. Masih banyak wanita lain
setelah Jessica. Tapi, tak mungkin aku ceritakan semua kepadamu. Begitu
panjang, dan akan menambah kebencianmu saja pada diriku. Cukup Tuhan dan mereka
(wanita yang kusakiti) yang membenciku. Tidak perlu kau tambah.
Aku pernah bermimpi dalam tidurku. Aku
bermimpi didatangi oleh wanita-wanita yang pernah kusakiti hatinya. Mereka
datang lalu menagih janji, pun ada yang datang dengan menggendong bayi. Tetapi,
aku tidak melihat wajah Arista berkelabat dalam mimpiku. Mungkin saja Arista
tidak membenciku, dan yang datang di mimpiku hanyalah wanita yang menaruh
dendam kepadaku.
Dalam mimpiku, selain mereka menagih janji,
mereka juga menyumpahku. Ya, mereka mengutukku hingga aku demikian adanya
sekarang. Hingga sekarang aku berumur panjang, dan tak punya cinta yang melekat
dalam kehiduapanku.
Kau
akan hidup selamanya. Umurmu akan panjang. Kau tak akan bisa mati. Dan kau akan
hidup untuk merasakan sakit hati yang kami rasakan, para wanita yang pernah kau
permainkan!
Kau
tak akan mati, kau akan abadi. Kau akan tetap tinggal di dunia untuk
mendapatkan cinta, tetapi pada akhirnya cinta itu akan menyakitimu. Sangat
menyakitimu. Kau akan berusaha mencari cinta, tetapi kau akan terus disakiti!
Kau tak bisa mati.
Kau
tak bisa mati untuk meraskan karmamu di bumi. Tuhan menolakmu mati, karena
ingin menyiksamu di bumi. Kau akan jauh lebih tersiksa di bumi, ketimbang kau
di neraka. Kau tak akan mati dengan derita sakit hati karena cinta. Kau tak
akan mati tuk selalu rasakan sakit hati karena karmamu.
Begitulah sumpah itu. Mereka mengutukku
bertubi, dan selalu datang di mimpiku selama tiga hari. Suara-suara kutukan itu
selalu berputar ditelingaku. Aku mulai tak tenang. Aku pikir, semua orang akan
mati. Tuhan sendiri yang telah berjanji, bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati.
Aku mencoba meyakinkan bahwa mimpi itu tidak benar adanya, pun kutukan itu
tidak akan pernah terjadi.
Tetapi aku baru membenarkan sekarang. Tuhan
memang belum ingin aku mati, sebelum aku membayar semua sakit hati yang pernah
ku beli. Aku harus membayar dengan sakit hati yang sama, setidaknya seperti itu
yang Tuhan maksudkan lewat mimpiku.
Kutukan itu mulai terjadi saat aku berusia 25
tahun. Aku betemu dengan Aisyah. Nama yang kuagungkan karena mirip dengan nama
istri Nabi. Saat itu aku ingin serius menjalin cinta, usiaku telah cukup untuk
beristri. Setelah enam bulan aku kenali sifat Aisyah, akhirnya aku melamarnya.
Dia, dan keluarganya menerima lamaranku. Kami sepakat menikah di bulan kelahiran
Aisyah. Oktober.
Namun, dua minggu sebelum pernikahanku dengan
Aisyah, dia kecelakaan. Mobilnya hancur berhantaman dengan sebuah bus. Aisyah
meninggal. Padahal, hari itu kami telah berjanji bertemu di sebuah telaga untuk
melakukan foto pra wedding. Kali itu,
adalah kali pertama aku merasakan sakit hati.
Satu bulan setelah kejadian itu, Tuhan dengan
cepat mempertemukanku dengan Laura. Gadis kota yang usianya lebih tua dua tahun
dariku. Karena tak ingin kejadian yang sebelumnya terulang, tanpa pertunangan
aku menikahi Laura. Kami telah resmi menjadi pasangan suami-istri. Aku bahagia,
dia bahagia, pun hidup kita memang terlihat bahagia.
Setahun, dua tahun, kami belum direstui anak.
Laura mengira aku tak bisa menghasilkan keturunan. Bagaimana mungkin pikirku,
sebab dulu aku pernah menghamili Jessica. Jadi, tidak mungkin jika aku mandul,
jelas Laura yang mandul. Laura menyangkal. Hingga akhirnya Laura hamil. Sungguh
aku tak senang, sebab dia hamil bukan denganku.
Dua bulan sebelum kabar kehamilan Laura
terdengar, saat itu aku sedang sakit, dia membawa teman lelakinya ke rumah
kami. Laura mengajak lelaki itu kedalam kamarnya, yang juga kamarku. Tapi waktu
itu, Laura memindahkanku ke kamar lain. Mereka tinggal semalaman di dalam kamar,
entah apa yang mereka lakukan. Yang bisa kudengar, hanya lenguhan dan suara
mendesah. Sungguh, aku ingin bergerak dan menghajar pelipis lelaki itu. Hanya
saja aku sedang menderita struk karena kecelakaan.
Dua bulan setelah kejadian itu, Laura hamil.
Lalu, dia menceraikanku saat aku masih sakit dan menikah dengan lelaki yang
menghamilinya. Lelaki selingkuhannya. Lelaki yang berselingkuh di hadapanku.
Sungguh sangat sakit perasaanku.
Dua kejadian tadi, hanya segelintir kisah
kutukan yang aku alami. Aku hidup sudah 186 tahun, dan sudah banyak kisah luka
yang aku kumpulkan. Aku selalu berharap pada belas kasih Tuhan, tetapi mungkin
aku belum cukup untuk menebus sakit hati yang mereka rasakan. Aku baru mengerti
sekarang. Bahwa cinta itu berbalas.
Aku hidup sudah 186 tahun, dan belum pernah
merasakan cinta. Dulu ketika ada yang mencintaiku, aku permainkan. Dan
sekarang, sekalinya aku jatuh cinta, aku selalu tersakiti. Aku benar-benar
belum tahu arti cinta. Aku belum tahu arti cinta, yang dua insan saling
mencintai.
Aku hidup sudah 186 tahun, aku sudah tua.
Jelas, tidak akan ada lagi yang mau menerimaku untuk dicintai. Yang aku tunggu
sekarang, bukan lagi cinta, tetapi kisah kutukan yang akan berakhir dalam
hidupku. Aku ingin kutukan ini berakhir. Benar, aku ingin kutukan ini berakhir
dan Tuhan segera mematikanku. Aku ingin mati. Hidup tak bahagia, hanya disakiti
oleh cinta. Aku benar ingin mati.
Aku hidup sudah 186 tahun. Sungguh, aku
menyesal atas permainan cinta yang selalu aku perankan. Jika aku tahu akhirnya,
akan aku hargai cintaku dulu. Akan aku jaga cintaku dulu. Tetapi memang tak ada
sesal di awal, kini akhirnya aku menyesal. Aku menyesal dengan hidupku yang
sudah 186 tahun, tetapi tak punya cinta. Aku butuh cinta seperti kalian. Ku
mohon, jangan permaikan cinta jika tidak ingin sepertiku.
****
Aku akhiri saja ceritaku. Jika lebih lama aku
bercerita, aku tidak menjamin mataku akan tetap berbinar tanpa genangan air.
Aku melirik pasangan kekasih di depanku. Si perempuan terpaku, matanya memerah,
aku melihat ada bekas air yang mengalir pada sisi-sisi wajahnya. Sedangkan si
laki-laki, hanya mengepalkan kedua tangannya yang ia sedekapkan.
Suasana mendadak sepi. Bukan karena tak ada
yang memulai percakapan diantara kami, melainkan kesedihan yang larut menjadi
bumbu kesepian. Aku memutuskan untuk pulang. Aku ingin beristirahat, jikalau
diijinkan aku ingin beristirahat untuk selamanya. Sebelum aku meninggalkan
mereka, aku berpesan dari ceritaku.
“Hay pasangan muda, jangan terlalu mudah
untuk berkata cinta. Pikirkan bahwa kau memang benar-benar mencintainya. Aku
ingin kalian hargai cinta, karena cinta bukanlah mainan. Cinta adalah kedudukan
tertinggi diantara kita, jadi hargai dia. Jika kau tak bisa menjaga cinta, tak
usah kau hidup. Sebab hidup penuh cinta, dan jika kau tak bisa mengharaginya,
bagaimana mungkin kau akan hidup dengan sempurna?
Cinta itu berbalas. Jika kamu menghargai
cinta, balasannya adalah kau akan dibahagiakan oleh cinta. Tetapi, jika kau
mainkan cinta, balasannya adalah kau akan disakiti oleh cintamu sendiri. Cinta
itu berbalas. Apapun pilihanmu tentang cinta, kamu akan menerima balasan yang
sesuai dengan pilihanmu.”
“Bukankah kejadian yang telah aku ceritakan
ini, adalah bukti peringatan bagi kalian yang pernah, atau sedang mempermainkan
cinta? Sudahlah, berhenti menyakiti cinta. Hargai cinta, sebagaimana cinta menyambutmu. Atau
kau akan menyesal seperti hidupku.”
Aku tersenyum, mereka tak membalas senyumku.
Barang kali mereka masih menelan pesan yang kusampaikan. Semoga saja mereka
dapat mengerti, lalu mengabadikannya dalam hidup mereka. Setidaknya, aku masih sudi
berbagi kisahku ini sebagai peringatan agar mereka tak mudah mempermainkan
cinta.
“Tunggu, kau mau kemana? Akan pergi kemana,
kau?” perempuan itu mencegahku lagi dengan pertanyaan. Tapi aku akan tetap
pergi.
“Pergiku, untuk menghabiskan jatah kisah yang
terkutuk dalam aku.”
0 komentar:
Posting Komentar