Jumat, 08 Mei 2015

#JumatKuCerpen: Persembahan Terakhir Untuk Ummi

gobloghaydar.blogspot.com


Sudah tiga tahun Abahnya meninggal dunia karena penyakit kanker yang menggerogoti otaknya. Sekarang Sulaiman hanya tinggal bersama Umminya, pun kedua adiknya yang masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setara SMP) dan Madrasah Ibtidaiyah (setara SD). Humaira, dan Nisa. Sedangkan Sulaiman sudah setahun yang lalu ia menamatkan pendidikannya hingga Madrasah Aliyah (setara SMA).

Setiap hari─saat fajar menyingsing dari ufuk timur, Sulaiman baru turun dari langgar, selepas ia beri’tikaf kepada Tuhan─Alloh. Ketika pagi hari, Sulaiman bekerja sebagai petani serabutan yang lebih sering mengurusi sawah milik Pak Diman, lurah di kampungnya. Sulaiman menggantikan posisi Abahnya sebagai tulang punggung keluarga. Sedangkan Umminya hanya seorang penjual gorengan singkong yang dititipkan di warung-warung dekat rumahnya.

“Assalamu’alaikum, Ummi.”

“Wa’alaikumussalam, baru pulang kamu, Man?” jawab Umminya sambil mencelupkan potongan singkong ke dalam adonan tepung.

“Iya, Ummi. Tapi sebentar lagi saya langsung berangkat ke sawah Pak Diman,” ia memasukkan celurit yang tadinya tergantung diantara bilik bambu dapurnya kedalam karung putih.

“Loh, tidak nunggu sarapan dulu dengan adik-adikmu, Man?”

“Saya cukup mengganjal perut dengan ini saja, Ummi. Tidak enak sama pekerja yang lain kalau saya datang terlambat.” Sulaiman mencomot hasil gorengan singkong yang masih hangat dari bakul dekat tungku.

Asap mulai mengepul pekat saat adonan demi adonan singkong mulai dimasukkan ke panci penggorengan. Sesekali Ummi Sulaiman memicingkan mata saat kepulan asap yang tertiup angin mengenai retinanya. Sedangkan Sulaiman, telah kembali meninggalkan rumah untuk mengais rezeki.

****

Ditengah sela-sela pekerjaannya, Sulaiman duduk bersantai dibawah pohon mangga besar nan rindang sambil memainkan harmonikanya. Ia mengeluarkan buku catatan kumpulan karya puisi ciptaannya dari dalam karung putih yang selalu sengaja dibawa. Orang-orang menyebutnya sebagai penyair kesepian. Sulaiman kerap kali melantukan puisinya ditengah angin kering yang menerpa rerumputan, dan memadukan dengan tiupan harmonikanya. Sampai akhirnya petani yang lain mulai menikmati nada-nada alunan harmonika yang diterpa angin menyusup hingga telinga.

“Hei Sulaiman, kamu ini mau meladang, atau bersyair?”

“Dua-duanya, Paman.”

“Ada-ada saja kamu ini, Man, Man,” petani itu menggeleng pelan sambil menaburkan pupuk diantara rumpun padi yang mulai meninggi.

Sulaiman bekerja di sawah milik Pak Diman hanya separuh hari. Dan rencananya selepas adzan dhuhur hingga sore hari, Sulaiman akan bekerja di tempat Fikar─sahabatnya, sebagai penjaga warnet. Barang dua hari yang lalu Fikar datang ke rumah Sulaiman dan menawarkan pekerjaan di tempat usahanya. Sulaiman rela bekerja membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, segala pekerjaan yang dianggap halal ia geluti dengan senyum hati.

Warung Internet milik Fikar selalu ramai pelanggan, kebanyakan dari mereka adalah pelajar. Usaha tersebut mulai dikembangkan setelah Fikar lulus SMA, dengan memberi nama Warnet BadarOnline. Badar jika diartikan adalah bulan purnama yang diambil dari bahasa arab, entah karena alasan apa Fikar menggunakan nama tersebut.

****

Sulaiman pergi bersama Fikar di hari pertama ia bekerja, sekaligus Fikar akan memberi tahu apa saja tugas yang harus dikerjakan. Fikar akan menemani Sulaiman hingga jam tutup warnetnya, saat menjelang senja nanti.

“Kamu masih ingat cara mengoperasikan komputer seperti yang diajarkan di Madrasahmu dulu kan, Man?” tanya Fikar sambil menyalakan sebuah komputer khusus server.

“Insyaallah, walau sering hidup di sawah bersama sapi dan kerbau, ingatanku masih tajam, Fik.” Sulaiman menjawab dengan candaannya yang khas─tanpa ikut tertawa.

“Iya, iya, aku percaya. Eh, Man, kamu punya akun media sosial tidak?” Fikar menunjukkan akun facebook miliknya.

“Aku paling anti dengan jejaring sosial, Fik.”

“Kenapa? Man, di zaman modern seperti sekarang ini, kita dituntut untuk mengikuti perkembangannya, salah satunya dengan memiliki akun jejaring sosial, karena dari sana kamu akan banyak mendapatkan informasi. Dunia terasa seperti daun kelor, ketika kita berinteraksi di dalam jejaring sosial tersebut.”


“Itu sebabnya, banyak manusia zaman sekarang yang bertuhan kepada internet, ataupun media sosial lain, bukan kepada Alloh yang Maha satu. Buktinya, banyak diantara mereka yang melalaikan ibadahnya disebabkan karena terlalu sibuk dengan dunia fana mereka.” Sulaiman memotong pembicaraan Fikar.

“Tidak semua orang seperti yang ada dalam kacamatamu, Man. Misalkan saja, aku bisa memulai bisnis warnet ini, cikal bakalnya ya karena ada pelatihan online yang aku dapat dari internet. Dan Alhamdulillah, Alloh melancarkan jalan usahaku, sehingga mampu berbagi sedikit rezeki ini untukmu. Kita juga bisa mendapat banyak ilmu melalui internet, Man, tidak hanya melulu duduk di bangku sekolah untuk menerima pelajaran.

“Nah, sangat penting juga untuk kamu yang suka menulis, misalkan. Kemarin aku menemukan informasi dari sebuah website tentang info lomba menulis. Sebuah penerbit ternama sedang mengadakan sayembara menulis cerita pendek, dan hadiahnya adalah satu tiket umroh, tidak hanya itu, kamu bisa ikut dalam sebuah pelatihan menulis di Jakarta. Subhanallah, terbukti kalau dunia internet juga mendatangkan manfaat bagi kita, Man.”

Sulaiman terperanjat, tubuhnya bergeming saat mendengar hadiah bagi pemenang sayembara menulis cerpen seperti yang dikatakan Fikar.

“Jangan bercanda kamu Fik, mana mungkin hadiahnya sebesar itu?”

“Aku mana pernah membual kepadamu, Man? Makanya seperti aku bilang tadi, bersosialisasi dengan dunia internet itu perlu. Karena kamu bisa dapatkan informasi seluas-luasnya. Alloh tidak pernah melarang, selama kita masih berada dalam kaidah dan syariat-Nya.”

“Kalau itu benar, aku ingin mendaftar sayembara tersebut. Barangkali, mimpiku untuk memberangkatkan Ummiku ke tanah suci bisa terjembatani.”

“Amin! Coba saja kamu buka alamatnya, dan baca sendiri seperti apa prosedur pendaftarannya.” Fikar menuliskan sebuah alamat website pada komputernya. Saat akan menekan tombol enter, Sulaiman mencegahnya.

“Nanti saja aku membukanya, sekarang warnet masih ramai pelanggan.”

****

Di hari kedua Sulaiman bekerja─lewat warnet tempat ia bekerja, Sulaiman membuka sebuah alamat website yang telah Fikar simpan di sebuah penanda browser komputernya. Saat sebuah alamat website yang diketik tadi muncul di layar komputer, Sulaiman tampak serius membaca syarat pendaftaran sayembara menulis cerpen yang diceritakan Fikar kemarin.

Tepat saat Sulaiman membuka website tersebut, bersamaan pula dengan hari terakhir pengumpulan naskah cerpen. Tanpa mengulur waktu, Sulaiman segera menggerakkan jemarinya diantara tombol keyboard. Kebetulan hari itu warnet sedang sepi, hanya beberapa pelanggan yang datang, lalu dengan cepat telah berlalu.

 Dengan penuh kesungguhan, Sulaiman mulai menenun kata demi kata, kalimat demi kalimat hingga terangkai sebuah tulisan yang sangat indah dan sahdu saat diperdengarkan. Ia menulis sebuah cerpen dengan tema yang sesuai dengan cerita hidupnya, agar terkesan lebih mudah untuk disuarakan.

Sulaiman telah larut dalam abjad-abjad yang ia tulis, sampai tak sadar bahwa seseorang telah berdiri di ambang pintu masuk warnet. Fikar yang baru datang, sedang tersenyum memperhatikan Sulaiman yang sejak tadi tidak merubah pandangannya dari layar komputer, dahinya mengkerut sehingga alis tebalnya seolah menyatu. Fikar sengaja membalikkan papan kecil yang tergantung di kaca pintu, sehingga yang terlihat dari luar adalah tulisan tutup. Tiba-tiba Sulaiman menyadari kedatangan Fikar.

“Fikar? Sejak kapan kamu disini, dan kenapa kamu membalik papannya menjadi tutup?”

“Sudah sepi, cuaca juga mendung, jadi kemungkinan sudah tidak ada pelanggan yang akan datang.” Jawab Fikar berbohong. Sulaiman kembali menatap layar komputer.

Saat selesai terketik rapi, Sulaiman kembali membaca ulang tulisannya. Sekarang ia bertindak sebagai editor atas tulisannya sendiri. Sesekali ia menghapus beberapa kata yang salah ketik, dan menggantinya dengan kalimat yang tepat. Setelah yakin tak ada cacat lagi dengan tulisannya, ia siap mengirim naskah cerpennya kepada penerbit penyelenggara sayembara melalui surat elektronik.

Dengan mengucap basmalah, tanpa ragu lagi Sulaiman mengirimkan naskah cerpennya. Sebuah judul tertulis “Persembahan Terakhir Untuk Ummi”, membingkai segala harapan dan doa yang terbutir dalam tenunan kata indah. Alhamdulillah, ia membatin saat mengakhiri pengiriman naskahnya.

****

1 Minggu kemudian

Pintu rumahnya di gedor oleh orang tak dikenal. Sulaiman mencoba membuka pintu, dan memastikan siapa yang terburu bertamu saat adzan maghrib baru selesai berkumandang.

“Fikar? Aku kira siapa yang hendak bertamu seperti orang tak tahu adat.” Sulaiman membuka pintu dengan memasang wajah geram.

“Maaf, Man, kalau aku tidak sopan. Seminggu ini apa kamu belum membuka akun email mu sama sekali?”

“Tidak.” Sulaiman menjawab dengan nada cuek.

“Itu yang akan aku kabarkan untukmu, Man. Tadi sore aku mencoba untuk membuka akun emailku, ternyata masih ada akun email milikmu yang belum di log out. Saat aku akan mengeluarkannya, aku menemukan pesan masuk dari penerbit yang mengadakan sayembara cerpen kemarin, kamu masih ingat?”

“Ingat, lalu kenapa?”

“Alhamdulillah, Man. Kamu jadi juaranya, Man. Iya kamu berhasil, Man. Dan kamu berhak untuk mendapat tiket umroh atas hadiah kejuaraanmu.” Fikar berkata dengan mata berkaca-kaca.

“Demi Tuhan, apa kamu sedang tidak bercanda, Fik?”

“Demi Tuhan, Man!”

“Alhamdulillah ya Alloh!” Sulaiman bersimpuh bersujud syukur di teras rumahnya.

“Terimakasih, Fik. Kamu telah membantuku menemukan jalan cita-citaku yang selama ini aku sematkan dalam bait doaku.” Sulaiman bangkit dan menjabat tangan Fikar.

“Berterimakasihlah kepada Alloh atas petunjuk yang diperlihatkan. Aku memang sudah menduga, bahwa tulisanmu dapat memikat hati pembaca dan akan lolos menjadi sang juara. Subhanallah.” Lagi-lagi Fikar berucap syukur atas keberhasilan sahabatnya, ia ikut terharu saat melihat Sulaiman menitikkan butir air mata di pipinya.

Tiba-tiba Ummi Sulaiman yang masih lengkap mengenakan mukenah datang menghampiri menuju depan pintu yang sejak tadi terdengar gaduh.

“Siapa yang datang, Man? Ummi dengar dari dalam kok sangat ribut?”

Sulaiman tak segera menjawab, ia berhambur cepat ke arah Umminya, lalu bersimpuh tepat di kaki Umminya

“Ummi! Alhamdulillah, Ummi bisa pergi ke Mekkah untuk umroh. Sulaiman menang sayembara nulis, Ummi. Alhamdulillah Ummi, cita-cita Sulaiman tercapai.” Suaranya serak.

“Alhamdulillah, Ya Alloh. Engkau beri anugerah terindah! Terimakasih Alloh.”

****

6 Bulan Kemudian

Malam tampak menyembunyikan taburan bintang, bulan pun seolah enggan untuk memperlihatkan keindahannya pada alam. Sejak setengah jam yang lalu, setelah acara pengajian menjelang keberangkatan ke tanah suci berakhir, Ummi Sulaiman terlihat murung dan sedang mencemaskan sesuatu.

“Ummi kenapa? Kok terlihat gelisah, bukannya senang karena besok akan berangkat ke tanah suci?” Sulaiman menggenggam tangan Umminya.

“Ummi juga tidak tahu, kenapa Ummi ragu dengan keberangkatan Ummi besok. Sejak tadi, hati Ummi sangat gelisah, seolah ada sesuatu yang menahan keberangkatan Ummi besok, Man.”

“Mungkin itu hanya cerminan dari rasa kesenangan Ummi saja. Ya sudah lebih baik Ummi istirahat, biar besok pagi terlihat lebih bugar dari sekarang.” Sulaiman bangkit dan mengkecup kening Umminya sambil berbisik.

“Sulaiman sayang Ummi.”

Malam begitu cepat memutar waktu. Sulaiman baru saja selesai merendahkan hatinya kepada Alloh di sepertiga malam, adzan subuh ikut berkumandang. Sulaiman segera bangkit, kembali mengambil wudhu karena tadi ia sempat tertidur setelah melaksanakan sholat tahajjud. Saat melewati depan kamar Umminya, dari celah pintu yang sedikit terbuka ia melihat Umminya masih tertidur dengan mukenah putih yang masih lengkap di tubuhnya, tangannya disendekapkan pada dada. Posisi wajahnya menghadap ke barat, begitulah cara tidur yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Sempat Sulaiman akan membangunkannya untuk sholat subuh berjamaah, namun ia urungkan, Sulaiman beralih membangunkan kedua adiknya.

Setelah melaksanakan sholat subuh, Sulaiman melipat sajadahnya lalu bergegas untuk membangunkan Umminya. Ia melihat posisi tidur Umminya masih sama seperti pertama ia lihat tadi. Dengan penuh hati-hati, Sulaiman menepuk pundak Umminya hingga tiga kali. Namun Umminya tak bergeming sedikitpun. Berkali-kali Sulaiman melakukannya, namun tetap tak ada yang berubah. Sampai akhirnya Sulaiman mulai gelisah melihat keadaan Umminya yang tak pernah sesulit ini untuk bangun subuh. Sulaiman mencoba menempelkan jari telunjuk tangan kanan di lubang hidung Umminya.

“Ummi, ayo lekas bangun. Sebentar lagi Ummi akan berangkat ke bandara, setelah itu Ummi akan berangkat ke tanah suci Mekkah.” Sulaiman mengusap kepala Umminya yang masih terbungkus mukenah, matanya berkaca.

“Sulaiman juga telah menyiapkan segala perlengkapan untuk Ummi selama di Mekkah nanti, ada makanan, air putih, juga obat-obatan jika sewaktu-waktu Ummi merasa tidak enak badan. Sulaiman juga telah memasukkan Al-Quran kecil untuk Ummi baca selama di pesawat. Maafkan Sulaiman, tidak bisa ikut bersama Ummi, hanya bisa mengantar sampai disini. Ayo Ummi, bangun, Ummi.” Sulaiman menitikkan air matanya, lalu mengkecup kening Umminya.

“Sekarang Ummi telah menunaikan ibadah haji yang menjadi impian Ummi sejak Abah masih ada. Sulaiman bersyukur, sebab Ummi berangkat ke tanah suci diantar oleh Malaikat Alloh.”


“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.”  Sulaiman mengusapkan telapak tangan pada wajah Umminya, sembari menahan agar isak tangisnya tak terdengar. Tak ayal, tumpah pula air di matanya.

Jadilah pembaca setia saya, siapa tahu jodoh!

0 komentar:

Posting Komentar