Sudah
tiga tahun Abahnya meninggal dunia karena penyakit kanker yang menggerogoti
otaknya. Sekarang Sulaiman hanya tinggal bersama Umminya, pun kedua adiknya
yang masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setara SMP) dan Madrasah
Ibtidaiyah (setara SD). Humaira, dan Nisa. Sedangkan Sulaiman sudah setahun
yang lalu ia menamatkan pendidikannya hingga Madrasah Aliyah (setara SMA).
Setiap
hari─saat fajar menyingsing dari ufuk timur, Sulaiman baru turun dari langgar,
selepas ia beri’tikaf kepada Tuhan─Alloh. Ketika pagi hari, Sulaiman
bekerja sebagai petani serabutan yang lebih sering mengurusi sawah milik Pak
Diman, lurah di kampungnya. Sulaiman menggantikan posisi Abahnya sebagai tulang
punggung keluarga. Sedangkan Umminya hanya seorang penjual gorengan singkong
yang dititipkan di warung-warung dekat rumahnya.
“Assalamu’alaikum,
Ummi.”
“Wa’alaikumussalam,
baru pulang kamu, Man?” jawab Umminya sambil mencelupkan potongan singkong ke
dalam adonan tepung.
“Iya,
Ummi. Tapi sebentar lagi saya langsung berangkat ke sawah Pak Diman,” ia
memasukkan celurit yang tadinya tergantung diantara bilik bambu dapurnya
kedalam karung putih.
“Loh,
tidak nunggu sarapan dulu dengan adik-adikmu, Man?”
“Saya
cukup mengganjal perut dengan ini saja, Ummi. Tidak enak sama pekerja yang lain
kalau saya datang terlambat.” Sulaiman mencomot hasil gorengan singkong yang masih
hangat dari bakul dekat tungku.
Asap
mulai mengepul pekat saat adonan demi adonan singkong mulai dimasukkan ke panci
penggorengan. Sesekali Ummi Sulaiman memicingkan mata saat kepulan asap yang
tertiup angin mengenai retinanya. Sedangkan Sulaiman, telah kembali
meninggalkan rumah untuk mengais rezeki.
****
Ditengah
sela-sela pekerjaannya, Sulaiman duduk bersantai dibawah pohon mangga besar nan
rindang sambil memainkan harmonikanya. Ia mengeluarkan buku catatan kumpulan
karya puisi ciptaannya dari dalam karung putih yang selalu sengaja dibawa.
Orang-orang menyebutnya sebagai penyair kesepian. Sulaiman kerap kali
melantukan puisinya ditengah angin kering yang menerpa rerumputan, dan
memadukan dengan tiupan harmonikanya. Sampai akhirnya petani yang lain mulai
menikmati nada-nada alunan harmonika yang diterpa angin menyusup hingga telinga.
“Hei
Sulaiman, kamu ini mau meladang, atau bersyair?”
“Dua-duanya,
Paman.”
“Ada-ada
saja kamu ini, Man, Man,” petani itu menggeleng pelan sambil menaburkan pupuk diantara
rumpun padi yang mulai meninggi.
Sulaiman
bekerja di sawah milik Pak Diman hanya separuh hari. Dan rencananya selepas adzan
dhuhur hingga sore hari, Sulaiman akan bekerja di tempat Fikar─sahabatnya,
sebagai penjaga warnet. Barang dua hari yang lalu Fikar datang ke rumah
Sulaiman dan menawarkan pekerjaan di tempat usahanya. Sulaiman rela bekerja
membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, segala pekerjaan yang
dianggap halal ia geluti dengan senyum hati.
Warung
Internet milik Fikar selalu ramai pelanggan, kebanyakan dari mereka adalah
pelajar. Usaha tersebut mulai dikembangkan setelah Fikar lulus SMA, dengan
memberi nama Warnet BadarOnline.
Badar jika diartikan adalah bulan purnama yang diambil dari bahasa arab, entah
karena alasan apa Fikar menggunakan nama tersebut.
****
Sulaiman
pergi bersama Fikar di hari pertama ia bekerja, sekaligus Fikar akan memberi
tahu apa saja tugas yang harus dikerjakan. Fikar akan menemani Sulaiman hingga jam
tutup warnetnya, saat menjelang senja nanti.
“Kamu
masih ingat cara mengoperasikan komputer seperti yang diajarkan di Madrasahmu
dulu kan, Man?” tanya Fikar sambil menyalakan sebuah komputer khusus server.
“Insyaallah,
walau sering hidup di sawah bersama sapi dan kerbau, ingatanku masih tajam,
Fik.” Sulaiman menjawab dengan candaannya yang khas─tanpa ikut tertawa.
“Iya,
iya, aku percaya. Eh, Man, kamu punya akun media sosial tidak?” Fikar menunjukkan
akun facebook miliknya.
“Aku
paling anti dengan jejaring sosial, Fik.”
“Kenapa? Man,
di zaman modern seperti sekarang ini, kita dituntut untuk mengikuti
perkembangannya, salah satunya dengan memiliki akun jejaring sosial, karena
dari sana kamu akan banyak mendapatkan informasi. Dunia terasa seperti daun
kelor, ketika kita berinteraksi di dalam jejaring sosial tersebut.”
“Itu
sebabnya, banyak manusia zaman sekarang yang bertuhan kepada internet, ataupun
media sosial lain, bukan kepada Alloh yang Maha satu. Buktinya, banyak diantara
mereka yang melalaikan ibadahnya disebabkan karena terlalu sibuk dengan dunia
fana mereka.” Sulaiman memotong pembicaraan Fikar.
“Tidak
semua orang seperti yang ada dalam kacamatamu, Man. Misalkan saja, aku bisa
memulai bisnis warnet ini, cikal bakalnya ya karena ada pelatihan online yang
aku dapat dari internet. Dan Alhamdulillah, Alloh melancarkan jalan usahaku,
sehingga mampu berbagi sedikit rezeki ini untukmu. Kita juga bisa mendapat
banyak ilmu melalui internet, Man, tidak hanya melulu duduk di bangku sekolah
untuk menerima pelajaran.
“Nah,
sangat penting juga untuk kamu yang suka menulis, misalkan. Kemarin aku menemukan
informasi dari sebuah website tentang info lomba menulis. Sebuah penerbit
ternama sedang mengadakan sayembara menulis cerita pendek, dan hadiahnya adalah
satu tiket umroh, tidak hanya itu, kamu bisa ikut dalam sebuah pelatihan
menulis di Jakarta. Subhanallah, terbukti kalau dunia internet juga
mendatangkan manfaat bagi kita, Man.”
Sulaiman
terperanjat, tubuhnya bergeming saat mendengar hadiah bagi pemenang sayembara
menulis cerpen seperti yang dikatakan Fikar.
“Jangan
bercanda kamu Fik, mana mungkin hadiahnya sebesar itu?”
“Aku mana
pernah membual kepadamu, Man? Makanya seperti aku bilang tadi, bersosialisasi
dengan dunia internet itu perlu. Karena kamu bisa dapatkan informasi
seluas-luasnya. Alloh tidak pernah melarang, selama kita masih berada dalam
kaidah dan syariat-Nya.”
“Kalau itu
benar, aku ingin mendaftar sayembara tersebut. Barangkali, mimpiku untuk
memberangkatkan Ummiku ke tanah suci bisa terjembatani.”
“Amin! Coba
saja kamu buka alamatnya, dan baca sendiri seperti apa prosedur pendaftarannya.”
Fikar menuliskan sebuah alamat website pada komputernya. Saat akan menekan
tombol enter, Sulaiman mencegahnya.
“Nanti
saja aku membukanya, sekarang warnet masih ramai pelanggan.”
****
Di hari
kedua Sulaiman bekerja─lewat warnet tempat ia bekerja, Sulaiman membuka sebuah
alamat website yang telah Fikar simpan di sebuah penanda browser komputernya. Saat
sebuah alamat website yang diketik tadi muncul di layar komputer, Sulaiman
tampak serius membaca syarat pendaftaran sayembara menulis cerpen yang
diceritakan Fikar kemarin.
Tepat saat
Sulaiman membuka website tersebut, bersamaan pula dengan hari terakhir
pengumpulan naskah cerpen. Tanpa mengulur waktu, Sulaiman segera menggerakkan
jemarinya diantara tombol keyboard. Kebetulan hari itu warnet sedang sepi,
hanya beberapa pelanggan yang datang, lalu dengan cepat telah berlalu.
Dengan penuh kesungguhan, Sulaiman mulai
menenun kata demi kata, kalimat demi kalimat hingga terangkai sebuah tulisan
yang sangat indah dan sahdu saat diperdengarkan. Ia menulis sebuah cerpen
dengan tema yang sesuai dengan cerita hidupnya, agar terkesan lebih mudah untuk
disuarakan.
Sulaiman
telah larut dalam abjad-abjad yang ia tulis, sampai tak sadar bahwa seseorang
telah berdiri di ambang pintu masuk warnet. Fikar yang baru datang, sedang
tersenyum memperhatikan Sulaiman yang sejak tadi tidak merubah pandangannya
dari layar komputer, dahinya mengkerut sehingga alis tebalnya seolah menyatu.
Fikar sengaja membalikkan papan kecil yang tergantung di kaca pintu, sehingga
yang terlihat dari luar adalah tulisan tutup. Tiba-tiba Sulaiman menyadari
kedatangan Fikar.
“Fikar?
Sejak kapan kamu disini, dan kenapa kamu membalik papannya menjadi tutup?”
“Sudah
sepi, cuaca juga mendung, jadi kemungkinan sudah tidak ada pelanggan yang akan
datang.” Jawab Fikar berbohong. Sulaiman kembali menatap layar komputer.
Saat
selesai terketik rapi, Sulaiman kembali membaca ulang tulisannya. Sekarang ia
bertindak sebagai editor atas tulisannya sendiri. Sesekali ia menghapus
beberapa kata yang salah ketik, dan menggantinya dengan kalimat yang tepat.
Setelah yakin tak ada cacat lagi dengan tulisannya, ia siap mengirim naskah
cerpennya kepada penerbit penyelenggara sayembara melalui surat elektronik.
Dengan
mengucap basmalah, tanpa ragu lagi
Sulaiman mengirimkan naskah cerpennya. Sebuah judul tertulis “Persembahan
Terakhir Untuk Ummi”, membingkai segala harapan dan doa yang terbutir dalam
tenunan kata indah. Alhamdulillah, ia
membatin saat mengakhiri pengiriman naskahnya.
****
1 Minggu kemudian
Pintu
rumahnya di gedor oleh orang tak dikenal. Sulaiman mencoba membuka pintu, dan
memastikan siapa yang terburu bertamu saat adzan maghrib baru selesai
berkumandang.
“Fikar?
Aku kira siapa yang hendak bertamu seperti orang tak tahu adat.” Sulaiman
membuka pintu dengan memasang wajah geram.
“Maaf,
Man, kalau aku tidak sopan. Seminggu ini apa kamu belum membuka akun email mu
sama sekali?”
“Tidak.”
Sulaiman menjawab dengan nada cuek.
“Itu yang
akan aku kabarkan untukmu, Man. Tadi sore aku mencoba untuk membuka akun
emailku, ternyata masih ada akun email milikmu yang belum di log out. Saat aku akan mengeluarkannya,
aku menemukan pesan masuk dari penerbit yang mengadakan sayembara cerpen kemarin,
kamu masih ingat?”
“Ingat,
lalu kenapa?”
“Alhamdulillah,
Man. Kamu jadi juaranya, Man. Iya kamu berhasil, Man. Dan kamu berhak untuk mendapat
tiket umroh atas hadiah kejuaraanmu.” Fikar berkata dengan mata berkaca-kaca.
“Demi
Tuhan, apa kamu sedang tidak bercanda, Fik?”
“Demi
Tuhan, Man!”
“Alhamdulillah
ya Alloh!” Sulaiman bersimpuh bersujud syukur di teras rumahnya.
“Terimakasih,
Fik. Kamu telah membantuku menemukan jalan cita-citaku yang selama ini aku
sematkan dalam bait doaku.” Sulaiman bangkit dan menjabat tangan Fikar.
“Berterimakasihlah
kepada Alloh atas petunjuk yang diperlihatkan. Aku memang sudah menduga, bahwa
tulisanmu dapat memikat hati pembaca dan akan lolos menjadi sang juara. Subhanallah.” Lagi-lagi Fikar berucap
syukur atas keberhasilan sahabatnya, ia ikut terharu saat melihat Sulaiman
menitikkan butir air mata di pipinya.
Tiba-tiba
Ummi Sulaiman yang masih lengkap mengenakan mukenah datang menghampiri menuju
depan pintu yang sejak tadi terdengar gaduh.
“Siapa
yang datang, Man? Ummi dengar dari dalam kok sangat ribut?”
Sulaiman
tak segera menjawab, ia berhambur cepat ke arah Umminya, lalu bersimpuh tepat
di kaki Umminya
“Ummi!
Alhamdulillah, Ummi bisa pergi ke Mekkah untuk umroh. Sulaiman menang sayembara
nulis, Ummi. Alhamdulillah Ummi, cita-cita Sulaiman tercapai.” Suaranya serak.
“Alhamdulillah,
Ya Alloh. Engkau beri anugerah terindah! Terimakasih Alloh.”
****
6 Bulan Kemudian
Malam
tampak menyembunyikan taburan bintang, bulan pun seolah enggan untuk
memperlihatkan keindahannya pada alam. Sejak setengah jam yang lalu, setelah acara
pengajian menjelang keberangkatan ke tanah suci berakhir, Ummi Sulaiman terlihat
murung dan sedang mencemaskan sesuatu.
“Ummi
kenapa? Kok terlihat gelisah, bukannya senang karena besok akan berangkat ke
tanah suci?” Sulaiman menggenggam tangan Umminya.
“Ummi
juga tidak tahu, kenapa Ummi ragu dengan keberangkatan Ummi besok. Sejak tadi,
hati Ummi sangat gelisah, seolah ada sesuatu yang menahan keberangkatan Ummi
besok, Man.”
“Mungkin
itu hanya cerminan dari rasa kesenangan Ummi saja. Ya sudah lebih baik Ummi
istirahat, biar besok pagi terlihat lebih bugar dari sekarang.” Sulaiman
bangkit dan mengkecup kening Umminya sambil berbisik.
“Sulaiman sayang Ummi.”
Malam
begitu cepat memutar waktu. Sulaiman baru saja selesai merendahkan hatinya
kepada Alloh di sepertiga malam, adzan subuh ikut berkumandang. Sulaiman segera
bangkit, kembali mengambil wudhu karena tadi ia sempat tertidur setelah
melaksanakan sholat tahajjud. Saat melewati depan kamar Umminya, dari celah
pintu yang sedikit terbuka ia melihat Umminya masih tertidur dengan mukenah
putih yang masih lengkap di tubuhnya, tangannya disendekapkan pada dada. Posisi
wajahnya menghadap ke barat, begitulah cara tidur yang dianjurkan oleh
Rasulullah SAW. Sempat Sulaiman akan membangunkannya untuk sholat subuh berjamaah,
namun ia urungkan, Sulaiman beralih membangunkan kedua adiknya.
Setelah
melaksanakan sholat subuh, Sulaiman melipat sajadahnya lalu bergegas untuk
membangunkan Umminya. Ia melihat posisi tidur Umminya masih sama seperti
pertama ia lihat tadi. Dengan penuh hati-hati, Sulaiman menepuk pundak Umminya hingga
tiga kali. Namun Umminya tak bergeming sedikitpun. Berkali-kali Sulaiman
melakukannya, namun tetap tak ada yang berubah. Sampai akhirnya Sulaiman mulai
gelisah melihat keadaan Umminya yang tak pernah sesulit ini untuk bangun subuh.
Sulaiman mencoba menempelkan jari telunjuk tangan kanan di lubang hidung Umminya.
“Ummi,
ayo lekas bangun. Sebentar lagi Ummi akan berangkat ke bandara, setelah itu
Ummi akan berangkat ke tanah suci Mekkah.” Sulaiman mengusap kepala Umminya
yang masih terbungkus mukenah, matanya berkaca.
“Sulaiman
juga telah menyiapkan segala perlengkapan untuk Ummi selama di Mekkah nanti,
ada makanan, air putih, juga obat-obatan jika sewaktu-waktu Ummi merasa tidak
enak badan. Sulaiman juga telah memasukkan Al-Quran kecil untuk Ummi baca
selama di pesawat. Maafkan Sulaiman, tidak bisa ikut bersama Ummi, hanya bisa
mengantar sampai disini. Ayo Ummi, bangun, Ummi.” Sulaiman menitikkan air
matanya, lalu mengkecup kening Umminya.
“Sekarang
Ummi telah menunaikan ibadah haji yang menjadi impian Ummi sejak Abah masih
ada. Sulaiman bersyukur, sebab Ummi berangkat ke tanah suci diantar oleh Malaikat
Alloh.”
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Sulaiman
mengusapkan telapak tangan pada wajah Umminya, sembari menahan agar isak
tangisnya tak terdengar. Tak ayal, tumpah pula air di matanya.
0 komentar:
Posting Komentar