****
“Jessica!
Kamu harus dengarkan kata Papi!” Koh Liling berusaha mengejar Jessica hingga anak
tangga rumahnya.
“Tidak,
Pi! Jessica tidak akan menikah dengan lelaki pilihan Papi. Jessica hanya mencintai
Andik. Titik!”
“Sejak
kapan kamu menjadi kurang ajar sama Papi, ha? Jessica, tunggu!”
Amarah
Koh Liling semakin menyulut. Perdebatannya sejak satu jam yang lalu belum juga menemukan
titik terang. Koh Liling yang mengejar Jessica tiba-tiba tergelincir dengan
karpet merah yang mendasar di lantai tangga. Tubuh kurusnya terpelanting hingga
ujung bawah tangga, kepalanya terbentur keras dengan lantai. Jessica segera
berlari menolong Papinya yang sudah tak berdaya. Darah segar semakin deras
mengalir dari kepala Koh Liling, memberi bekas merah pada kaos putih yang
dikenakan Jessica.
****
Tidak
banyak warga kampung yang hadir saat proses pemakaman Koh Liling, jelas saja
karena ia merupakan orang pendatang di kampungnya. Jenazah Koh Liling akan
dikubur di samping pemakaman istrinya, sebagaimana adat masyarakat China
melakukannya. Sejak kematian Koh Liling, Jessica sampai tak tahu cara menghentikan
air matanya. Yang ada hanya rasa penyesalan. Seandainya perdebatan malam itu
tak terjadi, mungkin kematian Koh Liling tidak akan terjadi secepat ini.
Andik,
lelaki yang Jessica anggap sebagai penyebab kematian Koh Liling juga hadir
dalam upacara pemakaman itu. Sepertinya Andik juga ingin memberi penghormatan
terakhir kepada Koh Liling. Andik tak datang sendiri, ia bersama seorang lelaki
yang tampak asing bagi Jessica. Lelaki itu mengenakan baju koko putih dan berkopyah
hitam.
Jessica
masih tertunduk layu di samping pemakaman Koh Liling. Orang-orang yang tadinya
hadir di pemakaman, mulai meninggalkan pemakaman. Bunga-bunga yang Jessica
tabur diatas pemakaman Koh Liling, serasa tak cukup untuk ikut mengubur rasa penyesalannya.
Tiba-tiba terdengar suara lembut nan lirih dari seseorang yang berada
dibelakangnya.
“Aku ikut
berduka, atas meninggalnya Koh Liling.” Andik memegang pundak Jessica, berusaha
menenangkan.
“Aku tidak
butuh belas kasih dari kamu! Bahkan aku juga tidak mengharapkan kamu ada disini!”
dengan cepat Jessica melemparkan tangan Andik yang bersarang di pundaknya.
“Aku
datang kesini, karena aku menaruh hormat kepada Papimu.”
“Oh, ya?
Menaruh hormat katamu? Bajingan! Asal kamu tahu, kematian Papiku itu sebab kamu!
Tetapi, kamu malah mengacuhkanku!”
Jessica benar-benar
tidak bisa menahan emosinya kepada Andik, sedang air matanya semakin membasahi
sisi wajahnya. Marah dan menangis. Andik yang tidak mengetahui apa yang sedang
terjadi, tidak menerima atas tuduhan Jessica. Ia balas memarahi Jessica.
“Kamu
bilang kematian Koh Liling karena aku? Kenapa kamu menyangkutpautkannya dengan aku?
Sebenarnya yang bajingan itu aku, atau kamu, ha?”
Plaaaak….
Sebuah
tamparan keras bersarang di pipi kanan Andik. Mendapat perlakuan seperti itu,
Andik mencoba untuk balik menampar Jessica. Namun tangannya terhenti di udara,
saat Bahrul dengan cepat menahannya.
“Kamu
tidak pantas menampar seorang perempuan, An.”
“Tapi dia
menamparku, kenapa kamu tidak membelaku?”
“Maaf, aku
hanya membela yang pantas untuk di bela, An.” Bahrul melepaskan genggamannya
dari pergelangan tangan Andik.
“Heh Jessica,
kalau bukan karena rasa hormatku kepada Koh Liling, tidak mungkin aku mau
menemuimu lagi! Dan sekarang, aku lebih yakin untuk tidak bertemu lagi
denganmu!” Andik meludah, lalu meninggalkan Jessica dan Bahrul.
Bahrul
hanya menarik napas berat menyaksikan pertikaian antara Jessica dan Andik
diatas pusara Koh Liling. Bahrul tidak heran jika Andik bertikai dengan
kekasihnya, tetapi ia masih penasaran dengan masalah diantara keduanya. Tak
seperti biasanya, kali ini Andik sedikit menutup diri untuk menceritakan
masalah yang terjadi dengan Jessica kepada Bahrul.
“Maafkan
sahabat saya, dia sebenarnya baik, hanya saja tidak bisa mengontrol emosinya.
Semoga kamu bisa mengerti.” Andik mencoba menenangkan Jessica.
“Kamu
tidak tahu apa yang terjadi, jadi tidak usah ikut campur,” suaranya serak.
“Sekali
lagi maaf. Kalau begitu saya pamit diri, Andik pasti sudah menunggu di mobil.
Oh, iya, semoga diberi kesabaran atas meninggalnya orang tuamu.”
****
Sepanjang
perjalanan dari pemakaman, Andik tak henti-hentinya menggerutu, sesekali ia
mengumpat kepada Jessica. Emosinya benar-benar meluap, sampai-sampai mobil yang
dikemudikan Andik nyaris menabrak seorang anak kecil yang akan menyeberang
jalan.
“Kalau
kamu tidak bisa menghilangkan emosimu, lebih baik aku turun disini saja, An. Aku
tidak mau mati bersama orang sepertimu,” gerutu Bahrul.
“Maaf,
Rul.”
“An,
bukan maksudku untuk mencampuri urusanmu, tapi tidak seharusnya kamu melakukan
perbuatan seperti tadi kepada seorang perempuan, apalagi dia kekasihmu.” Bahrul
sengaja memancing Andik untuk menceritakan masalahnya.
“Itu
karena kamu tidak tahu dengan masalah yang sedang aku alami. Rul!”
“Lalu,
apa yang sebenarnya terjadi diantara kalian berdua?”
“Maaf,
Rul, untuk kali ini aku tidak bisa menceritakan masalahku kepada siapapun,
termasuk kamu.” Andik sedikit mengurangi kecepatan mobilnya.
“An,
sudah berapa tahun aku berteman denganmu? Aku sangat mengenalmu, dan kamu juga
pasti sangat mengenalku. Aku tahu, kalau kamu sedang membutuhkan seseorang
untuk membantu memecahkan masalahmu. Dan ingat, masalah itu bukan untuk di
permasalahkan, tapi dicari jalan keluarnya. Kalau kamu tidak tahu jalan mana
yang akan kamu lewati, bertanyalah pada orang yang sekiranya bisa mengarahkanmu
pada jalan tersebut. Sekarang, berceritalah, insyaallah aku bisa membantumu.”
Andik
hanya membatin, apa yang diucapkan Bahrul memang benar adanya. Saat ini ia membutuhkan
seseorang yang dapat menjadi teman pemikul masalahnya. Ia benar-benar buntu
untuk menghadapi masalahnya sendiri.
Setelah
benar-benar yakin Bahrul dapat dipercaya, Andik mulai menceritakan masalah yang
sedang terjadi dengan Jessica. Andik berharap Bahrul akan memberinya solusi untuk melangkah. Namun setelah Andik selesai
bercerita, malah mendatangkan amarah bagi Bahrul.
“Justru
kamu yang seharusnya dikatakan bajingan Rul, bukan Jessica! Seandainya kamu
bukan sahabatku, dan Islam tidak melarang, sudah aku bunuh kau saat ini juga!”
“Aku juga
tidak tahu, siapa yang bajingan. Aku, Jessica, atau malah kami berdua. Aku
tidak tahu Rul! Kamu mau membantuku kan, Rul?”
“Aku
tidak bisa bantu jika masalahmu seperti ini. Kamu benar-benar sudah menyimpang
jalan, dan sekarang kamu malah mempermainkan perempuan. Maaf harus aku katakan,
kamulah yang bajingan! Dan kalau kamu tetap menolak keinginannya, kamu jauh
lebih dari seorang bajingan.” Bahrul memasang wajah geram, tangannya mengepal
erat serasa ingin dilayangkan di wajah Andik, namun berusaha ditahannya.
“Bukankah
kamu sendiri yang mengatakan kalau akan membantuku?”
****
Jessica lebih
sering mengurung diri di dalam kamarnya, kini rumah itu serasa tak berpenghuni
setelah kematian Maminya dua tahun lalu, dan disusul dengan kematian Papinya
dua hari lalu. Namun bukan karena itu yang membuatnya sangat terluka. Baginya,
kematian sudah pasti terjadi, buat apa terlalu ditangisi.
Kali ini Jessica
kembali bertandang pada kejadian dua minggu lalu. Saat salah seoarang lelaki
yang sangat ia cintai, ternyata merusak kehidupannya. Seketika itu pula ia
merasakan sakit hati yang membekas amat dalam.
Di pagi
yang cerah dengan sedikit embun yang masih menetes, Jessica terbangun dari
tidurnya karena merasa mual. Di dalam perutnya seperti ada sesuatu yang
mengganjal, berkali-kali ia berusaha memuntahkannya, namun tetap tidak ada
reaksi apapun. Sudah dua hari ia membiarkannya, dipikirnya hanya sekedar masuk
angin. Tetapi hari ini Jessica berencana untuk memeriksakan keadaannya ke
dokter.
Setelah
selesai menyiapkan sarapan untuk Papinya, Jessica langsung pergi ke rumah sakit
yang tak jauh dari rumahnya. Sesampainya di rumah sakit, dan setelah menjalani
pemeriksaan, Jessica sangat terkejut dengan hasil diagnosa dokter atas keluhannya selama beberapa hari ini. Jessica
dinyatakan positif hamil. Kabar baik bagi dokter tersebut, tetapi tidak untuk Jessica.
Akhirnya Jessica
membagi kabar tersebut kepada lelaki yang menjadi alasan hamilnya. Dia adalah
kekasihnya. Dia Andik.
“Tidak
mungkin! Kenapa tidak kamu tanyakan pada lelaki yang lain? Aku tidak mungkin
menghamilimu!”
“Jadi,
kamu pikir aku pernah melakukan hubungan intim dengan lelaki lain? Aku tidak
pernah melakukannya dengan lelaki lain kecuali denganmu, An!” air matanya terurai
mengikuti lekuk wajahnya.
“Halah,
aku tidak percaya! Wanita murahan seperti kamu pasti mudah untuk diajak melakukan
perbuatan yang tidak semestinya dilakukan, buktinya saat aku mengajakmu untuk melakukannya
dulu, kamu langsung mengiyakan. Jadi jangan coba-coba kamu tipu aku!”
Plaaaak…
Sebuah
tamparan keras membekas merah di pipi kanan Andik.
“Bajingan!
Aku tidak terima atas tuduhanmu. Seumur hidup aku tidak pernah berbuat sehina
itu, kecuali denganmu, dan itu karena aku termakan oleh janjimu! Sekarang kamu
tega-teganya menyebutku sebagai wanita murahan! Dasar bajingan kamu Andik!”
Plaaaaak…
Andik
membalas tamparan Jessica.
“Heh, pelacur!
Telingamu dengarkan baik-baik, aku tidak akan mau menikahi seorang pelacur sepertimu!
Kamu kira dengan berpura-pura nangis di depanku, terus aku akan menikahimu dengan
status bayi yang tidak jelas di rahimmu, ha? Tidak semudah itu! Lagipula, orang
tuamu tak menyetujui kamu menikah denganku, karena kita berbeda agama.”
“Kamu
benar-benar bajingan! Aku bersumpah, atas sakit hatiku ini, lebih baik aku memilih
menanggung malu dengan punya anak tanpa bapak, daripada menikah dengan lelaki
yang berhati bangkai, yang tak punya malu untuk berkata pelacur kepada orang lain,
sedangkan dirinya juga tak ada bedanya!”
Plaaaaak…. Andik kembali menampar Jessica hingga
tersungkur.
“Sekali
lagi aku peringatkan, jaga omonganmu dan berhenti menggangguku!”
****
7
hari setelah kematian Koh Liling.
Pintu
rumahnya digedor oleh seseorang tak dikenal. Andik yang baru bersiap untuk pergi
bersama Bahrul memeriksa siapa yang datang. Begitu terkejut Andik saat
seseorang yang berdiri di ambang pintu tersebut adalah Jessica.
“Untuk
apa kamu kesini lagi? Bukankah aku sudah katakan untuk tidak mengganguku lagi?
Bukankah saat di pemakaman Papimu, kamu mengusirku?”
“Andik,
aku mohon, jangan habiskan semua kebahagiaanku. Aku telah kehilangan kedua
orang tuaku, dan aku tidak mau kehilangan kamu. Aku sudah tidak punya siapa-siapa
lagi, An.” Jessica memegang erat tangan Andik. Air matanya mulai meleleh.
Begitu rapuh kelopak mata itu, terlebih rapuhnya sangkar lebah.
“Apa kamu
sudah lupa dengan sumpahmu sendiri, ha? Sekali saja aku bilang tidak, ya tidak!
Cepat pergi dan jangan kembali. Aku sudah punya kekasih lain. Aku muak
berurusan dengan pelacur sepertimu. Pergi!”
Tiba-tiba
Bahrul yang telah membuat janji untuk menjemput Andik pun datang. Ia segera
menghampiri Jessica dan membangunkan Jessica.
“Andik!
Seharusnya kamu lah yang pantas mendapat perlakuan seperti ini! Kemana segumpal
hatimu yang dulu berisi iman? Aku tidak menyangka, ternyata kamu setega ini
kepada makhluk yang serupa dengan Ibumu.”
“Ah
sudahlah.” Braaaak…. Pintu rumahnya
ditutup sangat keras oleh Andik.
“Berdirilah,
maaf aku membangunkanmu. Kamu tidak apa-apa? Sekarang ikutlah ke rumahku,
disana kamu bisa jauh lebih baik. Aku memiliki adik perempuan, mungkin akan
lebih nyaman jika kau bercerita dengan sesama kaummu.”
****
“Kamu
duduk dulu, biar aku ambilkan air minum untukmu.” Bahrul mempersilakan Jessica
duduk di selasar rumahnya.
“Maaf
cuma ada air putih, silakan diminum. Semoga dapat menenangkanmu.” Bahrul
kembali dengan membawa segelas air putih.
“Terimakasih.
Maaf, nama kamu siapa? Aku belum mengenalmu.”
“Bahrul. Andik
adalah sahabatku.”
“Aku
benci mendengar nama itu, benar-benar membencinya. Aku hanya tak ingin sendiri,
kini semuanya telah pergi, termasuk kebahagiaanku juga. Aku benar-benar
sendiri, karena itu aku menemuinya.” Air matanya kembali mencuat dari ujung
matanya.
“Kamu
tidak sendiri, di agamaku menyebutkan bahwa Tuhan selalu bersama hamba-Nya.”
“Justru
itu, aku tidak yakin kalau tuhanku akan sudi untuk tetap bersama seorang
pelacur sepertiku.”
“Sudah
lah, jangan selalu menghakimi diri. Dan tidak usah membawa kisah-kisah lalu
dalam cerita saat ini. Bahrul telah bercerita semuanya kepadaku. Maaf, kalau
ternyata kamu tidak menginginkan orang lain mengetahui masalahmu.”
“Aku
sudah tidak peduli lagi jika seandainya semua orang mengetahui apa yang sedang
terjadi denganku, juga tentang keburukanku.” Jessica menyembunyikan wajahnya
dibalik jemari lentiknya.
Bahrul
dapat merasakan kepedihan yang sedang melanda Jessica. Namun disisi lain, ia
juga menyalahkan Jessica, kenapa tidak menjaga kehormatannya dengan baik. Sudah
jelas-jelas kalau perbuatan tersebut dilarang dan mendapat murka. Terlebih,
Bahrul sangat kecewa terhadap sikap sahabatnya. Ia tidak menyangka bahwa Andik
akan melakukan tindakan seperti itu.
“Insyaallah,
aku akan membantumu untuk menyadarkan Andik agar mau mempertanggung jawabkan perbuatannya.”
“Terimakasih
atas penawaranmu. Tapi aku sudah besumpah untuk memilih menanggung malu dengan
punya anak tanpa bapak, daripada menikah dengan lelaki yang berhati bangkai
seperti Andik. Dan aku lebih baik menggugurkan janin ini.”
“Astaghfirullah…” Bahrul membatin
“Sungguh
itu akan jauh menyengsarakanmu, dan tak ada bedanya antara hatimu dengan Andik.
Di agamaku, perbuatan tersebut akan mendatangkan murka Tuhan, karena sama saja
dengan membunuh nyawa tak bersalah. Dan aku yakin, bahwa di agamamu juga
berkata yang sama.”
Jessica
tersentak mendengar tutur dari Bahrul. Seketika itu juga niat buruknya seakan
runtuh dari dinding hatinya. Baru kemarin ia mengira bahwa semua lelaki itu
sama seperti Andik, tapi hari ini ia menemukan lelaki yang tak sama. Bahkan ia
juga kagum dengan keshalihan hatinya, agama yang Bahrul peluk seolah telah
mendarah daging. Tetapi Jessica tak habis pikir kenapa Andik tak sama seperti
muslim yang lain.
“Lalu,
apa yang harus aku lakukan dengan keadaanku seperti ini?” Suaranya serak.
“Aku
yakin di agamamu juga mengenal istilah taubat. Maka pertama yang harus kamu
lakukan adalah bertaubatlah. Setelah itu biarlah masa lalumu terkubur bersama
kelamnya, dan jadikanlah sebagai rambu-rambu pengingat agar kamu tak lagi
mengulangnya. Pilihlah hidupmu sendiri, ambillah selembar kertas baru, kemudian
silakan kamu tulis ulang dengan tinta yang kamu suka. Aku yakin, inilah saatnya
untuk kamu membuka lembaran baru.”
****
January, 8th 2015
Semenjak
itu, Bahrul lama tak mendengar kabar tentang Jessica. Pertemuannya dengan Jessica
dua bulan lalu menjadi pertemuannya yang terakhir. Sedangkan Andik dengan rasa
tak berdosanya telah menikahi salah seorang gadis di kampungnya akhir
tahun kemarin. Bahrul berkali-kali
berusaha untuk menyadarkan kebekuan hati Andik, namun otaknya benar-benar membatu.
Justru semenjak
menghilangnya kabar Jessica, membuat Andik semakin lupa dengan perbuatannya,
dan membulatkan niatnya untuk menikah dengan perempuan lain. Sebagai sahabat,
Bahrul hanya mengiringi niatnya dengan doa, dan pengharapan semoga ia mendapat
Hidayah. Bahrul juga selalu meniupkan doa untuk Jessica agar selalu mendapat
perlindungan.
Sebuah
mobil sedan putih berhenti di depan pekarangan rumah Bahrul. Bahrul mencoba
menebak siapa yang datang. Seorang wanita keluar dari dalam mobil, dengan rok
panjangnya yang menjuntai hampir menyentuh tanah, serta balutan kerudung yang
membungkus wajah putihnya. Bahrul hampir tak mengenali bahwa perempuan tersebut
adalah Jessica.
“Assalamu’alaikum,
Bahrul.” Ucap salam Jessica.
Bahrul
bergeming mendengar tutur salam yang sangat lembut terlempar dari lisan Jessica.
Bahrul tak mempercayainya bahwa ia mengucap salam yang telah diajarkan dalam
agamanya─Islam.
“Wa...wa’alaikumussalam.
Li...Jessica? Ini benar kamu?” Suaranya terbata-bata.
“Iya, aku
sengaja datang untuk menemuimu. Semoga aku tidak mengganggu.” Jessica
menyunggingkan senyuman.
Bahrul
masih bingung dengan perubahan yang terjadi pada Jessica. Akhirnya Bahrul
mempersilakan Jessica untuk duduk di kursi tua di selasar rumahnya. Barulah Jessica
menceritakan tentang kepergiannya selama dua bulan terakhir ini.
“Aku
telah bersaksi atas dua kalimat syahadat, Rul.”
“Subhanallah.
Sungguh, lengkap sudah kecantikan yang Tuhan anugerahkan untukmu!” Bahrul tak
hentinya berdecak subhanallah. Tubuhnya semakin bergeming saat Jessica
mengatakan dengan mantap bahwa dirinya telah memilih agama Islam sebagai
bantalan terakhir hidupnya.
“Semenjak
tiga bulan lalu, ketika kamu memberiku nasihat untuk membuka lembar hidup yang
baru, aku mulai memikirkan tinta yang akan aku pilih sebagai coretan diatas
kertas baruku. Lalu aku pergi untuk mencari kemantapan hati, disana aku
menemukan banyak penawaran hidup, tapi satu yang tertarik olehku. Yaitu Islam.
Aku mengenal Islam dari tutur katamu, sepertinya lembut dan menyejukkan. Lalu
aku mencari tahu yang sebenarnya, barulah dengan yakin aku ucapkan dua kalimat
syahadat.” Jessica menghentikan pembicaraannya.
“Sungguh,
surga mencari orang-orang sepertimu, Jes. Semoga kamu salah satun bidadari
surga nanti.”
“Aamiin.”
Bahrul
mensuguhkan segelas air putih untuk Jessica. Bahrul mengakui bahwa penampilan Jessica
kali ini sangat anggun, senyumnya terpancar sendu meneduhkan. Bahkan Bahrul
berani bertaruh, jika seandainya Andik melihat perubahan Jessica, ia akan
mengemis untuk kembali pada peraduan cintanya.
Berkali-kali
Bahrul membatin istighfar ditengah rasa kagumnya akan kecantikan Jessica, ia
sadar bahwa rasa kagumnya kepada wanita yang tidak halal baginya akan
mendatangkan dosa. Tiba-tiba Jessica kembali melanjutkan pembicaraannya.
“Dan
sekarang aku yakin, bahwa terkadang dalam hidup kita perlu untuk menutup
lembaran lama, dan membukanya dengan yang baru. Bukan berarti karena kisahnya
yang berakhir, melainkan untuk menuliskan kisah-kisah baru dengan tangan
sendiri. Bertepatan dengan tahun yang telah menjadi baru, akupun ikut memperbaharui
kisah hidupku, diatas lembar yang suci dari tinta darah. Semoga selamanya akan
tetap seperti ini. Harapan, kenangan, bahagia, duka, dan cinta membingkai
menjadi satu rantai dalam lembaran yang akan aku mulai. Semoga Islam yang telah
aku sulam saat ini dapat menunjukkannya. Amin.”
Jessica menarik
napas panjang setelah mengakhiri pembicaraannya. Sedangkan Bahrul
memperhatikannya dengan mata yang sedikit berkaca.
“Aku
bersyukur, kalau kamu benar-benar telah menemukan dan membuka lembaran barumu. Semoga
tak lagi kelam. Lalu, bagaimana dengan kandunganmu?”
“Aku
masih menjaga janin ini dengan baik. Benar katamu, janin ini tak bersalah. Hanya
kadang aku menangisi nasib anak ini ketika terlahir ke dunia nanti, tidak ada
sang bapak yang mengumandangkan adzan untuknya.” Jessica mengelus tiga kali
perut buncitnya.
“Beberapa
minggu lalu, Andik telah menikah. Maaf aku harus memberitahumu.”
“Aku
sudah tidak memperdulikan dia lagi. Dia adalah bagian dari lembaran lama yang
sudah aku tutup, dan sekarang aku sedang mencari seseorang yang akan menjadi
kisah dalam lembaran baruku.”
Jessica
menoleh ke arah Bahrul, lalu melanjutkan pembicaraannya, “Bahrul, sebelumnya
aku minta maaf jika harus mengatakan ini. Mungkin terkesan tidak wajar jika
seorang wanita yang mengatakannya. Sebenarnya, aku ingin seseorang yang menjadi
bagian dalam kisah baruku adalah kamu. Mungkinkah kamu akan bisa menjadi
imamku, Rul?” Suaranya lirih.
Bahrul
terperanjat mendengar pernyataan dari Jessica yang belum terbayangkan sebelumnya.
Memang, kedatangan Jessica hari ini membuat Bahrul sangat kagum, namun Bahrul
tetap tak bisa memikirkan jawabannya sepintas karena rasa kagumnya yang baru
saja berbinih.
“Aku
tidak menyangka kalau kamu akan mengatakan seperti itu, Jes. Tapi aku tetap
hormati perasaanmu. Hanya saja, aku belum bisa menjawabnya. Aku juga tidak
ingin melukai perasaanmu jika harus menjawabnya sekarang. Maaf jika aku pun
harus mengatakan ini.”
“Aku
mengerti keputusanmu, Rul. Aku hanya ingin memuaskan diriku saja dengan
mengatakan yang sejujurnya. Mungkin aku akan melanjutkan kisahku ini sendiri.
Aku ingin berterimakasih untukmu, Rul. Berkat kamu, kini aku berani untuk
membuka lembaran baruku. Berkat kamu pula, kini aku telah menjadi seorang
muslimah yang akan mengawali perjalan hidup di lembaran baruku. Dan aku harap
ini akan menjadi pelebur dosa laluku. Sekali lagi makasih, kini lembaran baruku
telah terbuka.” Jessica tersenyum kepada Bahrul, lalu secepat kilat menundukkan
kepalanya.
“Apapun
pilihanmu saat ini, lembaran barumu akan membawanya pada kisah yang sempurna.”
“Dan jika
tidak ada cinta lagi bagiku di bumi ini, maka aku akan beralih pada cinta-Nya.”
****
…bersambung…
Ada sedikit kesalahan penempatan tokoh di bagian awal *koreksi aja
BalasHapusBut, it's a nice story. I'll wait for the next..
Panjang banget ceritanya. Untuk dijadiin 1 bab novel, bisa nih. Btw, kunjungin gue balik ya...
BalasHapusSemoga juga bisa menjadi Novel :D
HapusIkuti balik, ya...
Wuiiihhhh ada calon penulis masa depan nih :D
BalasHapusLanjutin gaaaaaannnnn ^^
Aamiin :)))
HapusTerimakasih mas, bro. Semoga sering-sering berkunjung :)
bikin nagih ceritanya, lanjutin bang!!!
BalasHapusmampir ke blog gue bisa kali hehehe...
Bisa kok, bisa. Siap-siap meluncur :D
HapusKeren kali ini, yuk belajar trading forex dengan cara klik disini
BalasHapus