Surabaya, 5 Januari 2016
Hay, apa kabarmu ?
Sengaja aku kirim surat ini untukmu, sekedar pelipur rasa rindu
yang kian membeku. Semoga aku tak mengganggu, dan jika itu benar mengganggu,
kamu bisa meremas surat ini, lalu melemparkannya pada tong sampah di pojok
kamarmu. Aku juga tak akan tahu jika kau memilih untuk lakukan itu.
Kemarin, aku melihat se-ekor burung dengan sayap terluka karena
bidikan peluru sang pemburu. Lalu, burung itu hanya merintih kesakitan diatas
dahan bersama sang ibu. Burung itu tak bisa lagi mengepakkan sayap untuk pindah
ke dahan yang lain, sayapnya telah patah. Seandainya kamu sadar dengan
keadaanku, aku juga sama seperti burung itu. Kepergianmu, bagaikan busur yang
menancap di sekujur tubuhku. Itulah alasanku, mengapa hingga kini aku tak bisa
terbang untuk pindah ke dahan yang baru.
Asal kamu tahu, sebab rindu aku mengingat semua masa lalu antara
aku dan kamu. Dan sebab masa lalu, membuatku ragu untuk melangkah maju.
Bayangmu, selalu datang menancap di kalbu. Dan di tempat yang sama ini, aku
terpaku menunggumu, itulah yang membuat jatuhnya air mataku. Perlahan, bayangmu
semakin menyeramkan, menakutkan, lalu merobek hatiku. Sungguh aku menjerit
kesakitan menahan pilu!
Semenjak kamu pergi tinggalkanku, kini aku bagai sebongkah kayu
yang terbakar lalu hangus menjadi abu, kemudian terbang dibawa angin yang
beradu. Serupa dengan debu; berbutir, hancur, dan tak berupa, itulah aku yang
tanpamu. Bagaimana kamu akan tahu, jika matamu selalu ditutup saat akan
memandangku?
Entah…
Aku tak menduga jika ternyata kisah kita menjadi kenangan abu-abu,
pahit saat dirasakan, tetapi pelik saat aku mencoba untuk berlalu. Sungguh,
perasaan ini ambigu. Andai saja dulu engkau tak memilih untuk berlalu, mungkin
hati ini tetap biru, tenang, dan tanpa ombak yang beradu.
Sesalku, karena tak bisa menahan langkamu untuk tetap disampingku,
dan menggenggam tanganku. Aku tahu, bahwa pertemuan akan selalu bermuara pada
perpisahan, itu yang selalu dikatakan oleh orang terdahulu. Dan andainya aku
diberi kesempatan untuk mengulur waktu, akan aku ulur pepisahan kita dulu. Agar
aku dan kamu, lebih lama untuk tetap jadi satu.
Sungguh, aku tak ingin tetap bertahan dalam belenggu rindu dan
kenangan masa lalu. Tapi entah kenapa, kini aku membiarkan ia membelukar dan
menjalar di semak hati, hingga akhirnya aku berusaha menunggumu untuk mencabut
akarnya, karena aku tak lagi mampu. Adakah uluran tanganmu yang masih sudi
untuk menegakkanku ?
Hingga kini untukmu, aku tetap bertahan disini, meski sendiri
melawan sepi dalam ketakutan, aku berharap engkau kembali padaku dan
menggenggam tanganku, lalu menuntunku yang tengah buta pada kehidupan yang
baru, saat bersamamu. Kumohon, lakukan itu!
Maaf, sebab kerinduanku aku berbuat lancang telah mengirim surat
ini untukmu. Sungguh karena aku rindu, dan tak tahu harus berteriak pada siapa
untuk mengobati rinduku. Sungguh karena aku ingin berkata untukmu, hingga kini
aku masih mencintaimu.
Aku: ─Pecandu Rindumu
Baper abis :') Yang kuat yak...
BalasHapus-jevonlevin.com
Kuatin aku, yak :')
Hapus