Surabaya,
29 Februari 2016
Sempat kuurungkan niatku
menulis urat ini untukmu. Surat terkahir di 30 hariku. Karena aku ragu kamu
akan sedia membaca surat ini. Tapi biarlah, sekalipun setelah kamu tahu siapa
pengirim surat ini lalu kamu membuangnya, toh aku tidak akan tahu.
Jika sudi; kamu cukup
baca, remas, buang dan lupakan. Sudah cukup berarti bagiku
Dalam hidupku, ada dua
kemungkinan tentang cinta; Menemukanmu sebagai awal cintaku dan kehilanganmu
sebagai akhir cintaku. Saat pertama kali aku bertemu denganmu, kamu tahu
seperti apa rasaku? Seperti bahagianya orang yang telah lama berdiri kehausan di
tengah padang pasir kering, panas, lalu datanglah angin berderu sangat sejuk
dan meniupkan hujan untuk membasahi kekeringan. Kamu adalah angin sejukku; menghilangkan
kegerahan dalam hati yang telah lama tandus akan cinta.
Sepanjang hidupku, adalah
saat bertemu denganmu yang selalu membekas rindu. Setiap malam, saat kusebut
namamu, aku serasa sedang berada dalam dekap pelukmu. Hangat dan sangat erat.
Dan saat aku mulai membayangkan dirimu, aku serasa sedang mencium keningmu. Aku
belum pernah berkhayal sejauh ini, mungkin harusnya aku sadar dengan
khayalanku, meski khayalku selalu terasa indah semenjak engkau yang menjadi
pemeran utamanya.
Yang ku ingat saat
pertama kali bertemu denganmu, adalah sapaan manja yang terbata pelan nan
lembut dari bibir merahmu. Demi Tuhan, hatiku serasa runtuh mendengar suaramu.
Aku belum pernah bersumpah akan sebuah kesungguhan, baru kali ini aku
mengucapkannya.
“Hallo.”
Kamu menyapaku sangat
manja.
Seandainya saat itu ada
malaikat yang bersedia meminjamkan sayapnya untukku, maka akan aku pinjam untukmu
terbang ke surga. Aku mempercayai diriku, bahwa akulah orang paling bahagia
sedunia saat itu. Aku sungguh.
Matamu menatapku sangat
tajam, bahkan aku juga menatapmu sangat tajam. Dari bola matamu, aku melihat
bayangan diriku. Mungkin dari bola mataku, kamu juga melihat bayangan bidadari
yang berdiri di depanku. Itulah kamu. Untuk sesaat, kita saling memandang tanpa
banyak bicara. Masih ingatkah?
Bahkan hingga kini, saat
aku menulis ulang kisah kita yang telah lama usang, kebahagiaannya masih terasa
sama, utuh dan tak banyak berbeda. Hanya satu yang berkurang, itu hadirmu.
Aku benar tidak menyangka,
bahwa pertemuan kita dulu akan bermuara pada perpisahan. Kini jaraknya, telah
jauh memisahkan antara aku dan kamu. Dan aku baru sadar bahwa, pertemuan adalah
saat dimana kita sedang menanti sebuah perpisahan. Waktu, telah mempertemukan
kita dan juga memisahkan.
Kamu adalah kesan
pertamaku saat kita pertama kali berjumpa.
Sungguh, kini aku sangat
merindumu. Mungkin terdengar tidak mungkin, karena pertemuan itu sudah lama
sekali terjadi. Tapi demi Tuhan, pertemuan itulah yang kini membuatku merana
untuk menanti kembali bertemu denganmu. Lagi-lagi aku bersumpah atas sebuah kesungguhan.
Untukmu.
Sejak berakhirnya
pertemuan itu, aku tak lagi mendengar kabarmu. Kamu seolah sengaja membiarkan
pertemuan itu menggantung, dan akhirnya mati. Apakah kamu lupa bahwa, pertemuan
itu terjadi karena kita saling menyepakati? Tetapi kenapa kamu menggantungnya?
Lagi aku ucapkan; kamu
adalah kesan pertamaku saat kita pertama kali berjumpa.
Dan benar, hadirmu
seperti angin. Yang tanpa disangka datang menyapaku, dan disaat aku terdiam
untuk merasakan sejuknya, engkau malah meniupkan luka dan membuatnya menganga.
Disaat angin yang
menyapaku telah membuatku terlena, ternyata engkau membawaku jauh ke dalam rasa
pilu yang berkepanjangan hingga kini engkau berlalu. Entah angin itu akan bertiup
ke mana lagi, yang jelas aku selalu menunggu angin itu kembali datang. Kamu.
Dan saat ini, akhirnya
aku sadar diri dengan khayalku dulu. Bukan untuk berhenti berkhayal tentangmu,
tetapi berhenti berharap untuk menjadikan khayalan itu sebuah kenyataan.
Kamu adalah kesan pertamaku
saat kita pertama kali berjumpa, sekaligus kesan terakhirku saat aku tak mampu
lagi menunggu.
Pengirim: ─Haydar Iskandar
0 komentar:
Posting Komentar