Untuk : Pemilik sayap
Aku sengaja menulis sepucuk
surat ini untukmu,
dengan perasaan bahagia karena bisa mensuarakan
perasaan hatiku dalam tulisan. Namun, terasa ada sayatan yang
mencabik saat tiba-tiba terbayang dengan
kisah kita dalam kepala dan batinku. Entah, harus darimana aku
memulai isi surat ini. Apakah harus aku mulai dari kebahagiaanku saat pertama
kali mengenalmu, atau berjalan mundur dari rasa sakit yang kini aku gandrungi
setelah aroma indahmu mulai tak tercium oleh inderaku.
Sebenarnya, aku tidak ingin kembali menuliskan
kisah ini yang membuat hatiku serasa tercabik. Berkali-kali aku berusaha
menghapus kisah ini, namun entah kenapa bayangannya terlukis sangat pekat.
Hingga akhirnya aku jadikan kisah ini sebagai kisah yang tak akan pernah aku
lupakan dalam ingatan, sepanjang hidupku. Biarlah, sepanjang hidupku pula
hatiku akan tetap menganga oleh sobekan luka yang kau gores dengan sembilu.
Saat ini, yang aku ingat hanyalah dalih janjimu
yang sempat terdengar manis di telinga, namun entah kenapa kini janji itu telah
banyak menumpahkan air mataku dengan percuma. Acap kali, air mata itu jatuh
dengan sendirinya tanpa perlu mengingat akan kepergianmu. Sebutir air mata yang
tertenun, mendatangkan seribu kesedihan bagiku. Sedangkan sudah beribu-ribu
butir air mata yang telah meluap dari tempatnya, dan aku yakin engkau dapat
menghitung sudah berapa banyak kesedihan yang engkau sayatkan dengan rasa tak
berdosamu.
Engkau pernah berkata, akan kembali setelah
pergi. Lalu sebenarnya untuk apa engkau pergi ? Apakah niatmu hanya untuk
melihat kesetianku dalam menunggumu ? Kalau begitu, sudah aku buktikan
kepadamu. Bahkan hingga kini, hingga ucapanmu tak kunjung datang aku tetap
setia menunggumu. Dan kini aku baru sadar dengan permainan katamu, yang
terkadang memberikan kepercayaan, lalu meninggalkan kepedihan. Yang terkadang
memberikan harap, lalu menjatuhkan. Terimakasih, telah peduli lalu pergi.
Terimakasih pernah menghibur lalu kabur. Terimakasih pernah mendekat lalu
menjauh. Terimakasih.
Aku fikir, aku dan kamu bagaikan sepasang hitam
putih diantara piano, yang terdengar indah saat kita mulai memainkannya. Namun
ternyata kita salah memainkan lagu, hingga kini yang terdengar hanyalah sebuah
tangis menjerit, dan saat kamu pun mendengar suara tersebut, sesungguhnya itulah
suara tangisku. Dan diantara selip tangis itu terdengar sebuah tawa, dan aku
yakin itulah suara tawa bahagiamu.
Dulu, saat pertama kali aku diperkanalkan
denganmu, secara perlahan aku mulai merindukanmu, tersenyum sendiri saat
mengingatmu, dibuat gila oleh rasa cintamu, hingga pada akhirnya secara perlahan
pula air mataku jatuh terurai. Aku tak pernah menyangka, jika seorang yang
berparas bidadari mampu menyayatkan sembilu dihati orang yang pernah ia berikan
harap dan janji.
Kini harapku bagai api yang terus menyala meski
air tak henti menyiram. Kini rinduku bagai sedang melukis diatas air lautan.
Sia-sia dan percuma. Bagiku tidak, karena ku ikhlas menunggumu dalam
kesedihanku, jika tidak mungkin aku telah mati.
Kini aku mensajakkan puisi dalam gambaran perasaanku;
Halus lembut membalut buluh penguat rongga, penahan penggerek batang. Penopang
terpaan angin-angin liar meliuk
mengikuti pusaran, tegar tak patah.
Kau
cabiklah...! maka, ketajaman tak terperi mengoyak jiwa, tetesan darah mengalir seiring jeritan hati, pedih.
Hmmm... sembilu adalah kata berirama senada goyangan lidah. Jagalah dia, agar tak lepas dari sangkarnya. Banyak sudah darah bersimpah ketika sembilu tak lagi membalut bambu.
Ku mohon jangan pernah lupakan saat kita bersama, kamu yang
tersenyum saat kita saling memandang sebelum berpisah. Aku mencintaimu, dan aku
sadar kalau engkau sudah tak lagi mencintaiku. Kesadaranku itulah yang akan
membuatku menundukkan kepala, lalu memutar badan dan melangkahkan kaki untuk
segera menjauh darimu. Namun dengan segala kehangatan, jika engkau inginkanku
kembali, bisakah engkau mengatakan kalau engkau tak akan menyakitiku ?
Dari : Korban kepakan sayapmu
Aku pergi.. Maaf kalo hanya ninggalin luka, maaf. Move on ayoh
BalasHapus