Untuk : Kamu yang sedang ku tunggu
Aku pastikan, saat kamu membaca nama pengirim
surat ini, kamu akan mencoba menerka siapa seseorang yang telah menunggumu.
Tidak usah bingung menebak siapa namaku, aku adalah orang yang pernah berjuang
bersama denganmu. Aku adalah orang yang pernah engkau tempatkan di peraduan
hatimu, namun kini aku adalah orang yang engkau hempaskan, engkau keluarkan aku
dan kau kunci pintu hatimu untuk memastikan bahwa aku tak akan pernah kembali
masuk. Namun tanpa kamu tahu, aku masih duduk tersungkur di depan pintu,
menunggu engkau si pemilik kunci akan kembali membukanya, dan menyuruhku masuk.
Tanpa kamu sadar, aku telah menunggumu sejak
pertama kali aku mengenalmu. Sampai akhirnya aku memilikimu, untuk sejenak aku
sangat bahagia karena telah menyandarkan penantianku. Namun saat siluet senyumku
baru terlukiskan setengah bagian, aku terbangun dari mimpiku. Ternyata aku tetap
saja menunggu, seperti dulu. Apakah
kebersamaan kita yang kemarin hanya sebuah mimpi ? Aku coba temukan jawabannya
saat aku baru sadar dari mimpiku.
Oh bukan, ternyata bukan mimpi. Semuanya memang
benar nyata. Aku nyata menunggumu, lalu kamu datang dan memberiku harapan. Kamu
benar-benar nyata pernah menjadi milikku. Lalu dengan nyata pula kamu pergi
meninggalkan aku. Dan aku nyata sakit hati, kini engkau kembali jauh, dan aku
kembali menunggumu. Kini, aku menunggumu saat engkau telah buatku sakit hati,
tapi aku masih mampu tersenyum untuk setia menjamin rasa cintaku untukmu.
Bukan sekali dua kali aku menunggumu, bukan
sekali dua kali aku engkau sakitiki. Tapi entah mengapa hingga kini, di setiap
detik hidupku selalu terselip sebuah harapan untuk bersama dengan dirimu. Aku
pernah menunggumu, lalu memilikimu, dan sekarang harus kembali menunggumu. Aku
baru sadar, bahwa aku lebih bahagia saat diam-diam menjadi penunggumu. Daripada
memilikimu, tapi air mata dengan diam-diam bercucuran mengikuti lekuk wajahku
menetes hingga ujung kaki. Dan disaat itu pula, hatiku serasa sangat rapuh,
bahkan lebih rapuh daripada sangkar lebah. Mungkin memilikimu, hanya sebuah
imaji. Yasudahlah.
Semenjak engkau lumpuhkan hatiku, aku bagaikan
puisi yang terbuang dari baitnya, sehingga tersajak begitu menyayat. Aku
bagaikan sebuah lagu yang dinyanyikan tanpa nada. Aku berusaha melindungi
hatiku, bukan karena tak ingin menangisimu lagi, tapi karena tak ingin
kecintaanku padamu luntur oleh sakit yang kau bubuhkan disetiap kerinduanku.
Sesakit sembilu yang kau tancapkan, aku selalu berusaha meyakinkan hatiku bahwa
itulah keindahan dari mencintaimu.
Aku tak pernah menyesal telah menunggumu,
mencintaimu, dan bahkan disakitimu. Bahkan jika engkau inginkan kembali
menyayat hatiku, silahkan saja. Dan saat engkau melakukannya, aku ingin melihatmu
sambil tersenyum dengan segala keindahannya, karena senyummu adalah bius akan
rasa sakitku.
Mungkin memang takdirku untuk selalu menunggumu.
Tuhan telah menakdirkannya begitu. Aku memang terlihat seperti pecundang, yang
bersembunyi dibalik semak, dan berlindung pada akar agar tak terlihat olehmu. Semua
orang memilih setia menunggu karena ingin memiliki apa yang dia tunggu, tapi
tidak padaku. Aku setia menunggumu, untuk tahu betapa sakitnya arti menunggu,
sedang yang ku tunggu tak pernah jemu
untuk menyakitiku. Semakin sakit rasaku, maka aku semakin tahu bahwa semakin
besar rasa cintaku untukmu. Andai engkau tahu, apakah akan menolehku ?
Entah sampai kapan, aku akan setia untuk tetap
berdiri di depan pintu hatimu. Lagi-lagi untuk sekedar menunggu. Orang berkata;
“Kenapa tak kau lepaskan dia ?” Percayalah, mereka hanya tak tahu dengan rasa
ikhlasku menunggumu, dan aku rasa engkaupun tak tahu.
Saat engkau membuka pintu, aku rasa itu bukan
untuk menyuruhku masuk. Melainkan untuk sekedar melihat orang lain yang baru
saja menunggumu. Dan ketika engkau lebih memilih dia untuk mengajaknya masuk,
aku akan tetap tersenyum. Dari ambang pintu, aku akan tundukkan kepalaku dengan
mata terpejam, agar engkau tak melihat air mata darah yang telah menggantikan
air mataku yang telah habis untuk menangisimu. Aku rasa engkau tetap tak akan
menoleh sedikitpun ke arahku.
Mungkin orang lain ingin tahu, disaat seperti
itu apakah aku akan tetap menunggu atau memilih menghapus air mata lalu pergi ?
Aku tak akan pernah memilih apapun, selain memberi tahumu bahwa ‘aku masih
mencintaimu, iya benar-benar masih.’ dan ‘jika kemarin engkau pernah mendengar
suara tangis yang dibawa angin dari semak belukar itu, adalah suara tangisku,
mungkin terdengar merdu di telingamu, tapi itu menyayat hatiku.’
Lalu setelah tersenyum ke arahmu, maka aku akan
meminta kepada Tuhan, “Tuhan, setiakanlah aku untuk setia menunggu dia. Dan
disaat kesetianku mulai pudar, lebih baik Engkau cabut nyawaku. Aku telah tak
setia padanya, walau sebenarnya aku tak berjanji.”
Kamu tahu artinya ? Kepergianmu telah
mengajarkanku untuk selalu setia menunggumu ! Semoga engkau tak pernah tahu
rasanya menunggu …
Dari : Aku yang menunggumu
Semoga tak melelahkan :)
BalasHapusSemoga begitu :)
Hapus