Dear: Hujan-ku (dulu dan nanti)
Surabaya, 1 Februari
2016
Hari ini kotaku sedang
turun hujan, dan aku langsung ingat kamu. Ya, karena aku tahu kalau kamu senang
bermain hujan, itulah mengapa setiap kali bumiku sedang diguyur hujan aku
langsung ingat kamu.
Apakah hari ini
kotamu juga sedang turun hujan? Seandainya di kotamu juga turun hujan, pasti saat
ini kamu sedang menari-nari di bawah langit, bukan? Dan andai saja kita masih
bersama, sudah pasti kamu akan memaksaku untuk menari bersama─di
bawah langit, walau baru sekali aku manyetujui permintaanmu itu.
Sejak kamu memilih
untuk bahagia (tanpaku), aku menjadi hobi menghitung berapa kali hujan yang turun
dalam sepekan, sebulan, bahkan setahun. Dan hari ini, hujan telah turun
sebanyak 56 kali sejak kepergianmu. Entah, kenapa aku memilih untuk melakukan
hal bodoh seperti itu.
Mungkin kamu tidak
mengira bahwa aku akan mengirim surat ini, tapi ketahuilah bahwa aku sungguh
ingin sedikit berbicara kepadamu, setidaknya surat ini yang akan menjadi wakil
suaraku. Aku hilang mata jika harus menatapmu langsung, aku hilang kata jika
harus berucap langsung denganmu, bahkan aku hilang akal jika harus bertemu
langsung denganmu. Ya, aku masih pecundang seperti dulu. Maaf, kalau caraku untuk
menanyakan kabarmu dengan berkirim surat ini semakin memperlihatkanmu bahwa aku
benar-benar seorang pecundang.
Rin, bagaimana
kabarmu? Apakah kamu sudah menemukan seseorang untuk menemanimu menari kala
hujan?
Rin, aku berhasil
mengejar cita-citaku. Ya, cita-cita yang dulu membuat kita berdebat, bertengkar
dan sampai akhirnya membuatmu memilih untuk meninggalkanku. Apa kabar dengan cita-citamu?
Sungguh, aku sangat
menyayangkan alasanmu memilih meninggalkanku (dulu). Kenapa kamu harus
meninggalkanku karena hanya sebuah cita-citaku yang tidak kamu suka? Apakah
sebenarnya ada alasan lain? Benarkah ada? Katakan, Rin!
Rin, apakah tidak ada
alasan lain yang lebih menyakitkan selain alasan ketidak cocokanmu dengan
cita-citaku? Padahal, selama kita bersama, aku tidak pernah menghalangimu untuk
bercita-cita, justru aku selalu mendukungmu karena aku tahu hanya itulah
kebahagianmu. Apakah ada yang salah dari caraku mendukung cita-citamu, Rin?
Tapi, masa kini
telah menjadi masa lalu. Semua cerita kini telah menjadi kenangan. Tapi rasaku
tidak pernah berganti, kamu tahu rasa apa itu? Rasa mencintamu yang berlebih!
Mungkin kamu akan bergumam; “Ah, mana
mungkin.”
Maaf, Rin, kalau
kemarin-kemarin di setiap pagimu selalu ada SMS dari nomor baru yang berisi
tentang ucapan selamat pagi dan membuatmu merasa terganggu, akulah dalangnya.
Aku yakin, saat ini kamu akan semakin menyebutku seorang pecundang yang tak
tahu diri.
Mungkin, hanya aku
satu-satunya pecundang di dunia ini yang rela bertahan mencintaimu, dan dengan
segala kebodohanku menghitung hujan.
Aku akan selalu
menghitung hujan. Saat ini, hujan ke 56, aku harap saat hujan turun untuk ke
57, kamu membalas suratku…
Aku akan selalu
menghitung hujan. Aku hanya akan berhenti menghitung hujan, kala hujan merestui
kita untuk bersemi (kembali). Entah, sampai dimana hitunganku…
Aku: ─Pecundang-mu
(dulu)
0 komentar:
Posting Komentar