Untuk: Dua pahlawan kecilku.
Surabaya, 2 Februari
2016
Hei, Dik.
Bagaimana kabarmu
dan adik kecil yang tak pernah lepas dari gendonganmu itu? Kakak harap kalian
berdua selalu baik dan sehat. Masih ingat dengan orang yang dua hari lalu
datang menghampiri kamu lalu membuat adikmu nangis karena orang itu mencoba
menggendongnya?
Iya, itu aku.
Dan hari ini kakak
sengaja berkirim surat karena khawatir membuat adikmu nangis lagi, dan kakak
nggak mau preman-preman yang mengawasi kalian justru menyakiti kalian akibat
kedekatan kita.
Jujur, kakak merasa
kasihan dengan kalian. Setiap malam, sebelum tidur, kakak selalu bertanya
kepada diri sendiri tentang bagaimana kalian berdua tidur? Bagaimana cara
kalian mengusir dingin? Bagaimana kalian bisa bermimpi indah? Kadang, ada air
yang keluar dari ujung kelopak mataku saat memikirkan hal itu.
Dik, kalo boleh
kakak tau, kemana kedua orang tua kalian?
Sejak kapan kalian
berdua hidup di jalanan?
Ketika semua orang
saling mengeluh saat kondisi jalanan macet karena panasnya kota ini, kalian
berdua justru dengan senyum santai selalu menikmati panasnya kota dengan alunan
lagu yang kadang membuat pengendara iba mendengarnya. Apakah senyum kalian
sejujur hati kalian? Atau senyum yang selalu kami lihat itu hanya sebuah polesan?
Dik, bersabarlah,
aku rasa negeri ini sedang berupaya untuk membantumu dan saudara-saudaramu yang
lain. Aku yakin, jalanan bukanlah tempat kalian. Kalian lebih pantas berada di
bangku pendidikan, negeri ini sangat butuh banyak pemuda untuk menjadi generasi
pembawa tongkat estafet kemerdekaan.
Dik, percayalah,
jika saat ini kalian baru bisa melihat anak-anak berseragam putih-merah setiap
pagi di antar oleh ibu mereka naik sepeda motor ke sekolahnya, maka suatu saat
nanti kamu juga akan bisa seperti mereka. Bermimpilah, Dik. Kalian berhak untuk
bermimpi setingi langit! Jangan patah semangat, Dik!
Oh, iya, apakah
botol susu adikmu udah diisi? Kalo udah habis, nanti akan kakak belikan lagi.
Tapi, nanti akan kakak pikirkan bagimana cara mengantarkan susu untuk adikmu
itu agar tidak ketahuan ‘bos’ kalian. Aku tidak mau kalian justru mendapat
hukuman jika mengetahui kedekatan kita.
Sungguh, aku sangat
terharu dan ingin rasanya menangis saat mendengar jawabanmu atas pertanyaanku
waktu itu.
“Aku rela ngumpulin uang jajanku dari si bos, bahkan aku
rela
nggak makan demi membeli sebotol susu untuk adikku, Kak.”
Dik, teruslah
seperti itu. Yakini bahwa kelak adikmu akan menjadi orang hebat untuk negeri
ini. Dan aku bangga denganmu, Dik, karena telah menjadi orang hebat di dunia
ini bagi adikmu.
Ya, sebotol susu
untuk negeri!
Aku yakin, sebotol
susu yang kamu berikan dengan penuh cinta kasih kepada adikmu saat ini akan
menjadi modal bagi adikmu untuk menjadi orang yang berguna bagi negeri ini, kelak!
Ya, sebotol susu itu
untuk negeri, kelak! Terimakasih atas perjuanganmu, Dik. Teruslah bermimpi, aku
tahu hatimu lebih tegar dari kami yang hidup nyaman di kota. Aku tahu itu.
Dik, lewat surat ini,
kamu bisa menuliskan semua isi hati kamu. Katakan apa yang menjadi
kegelisahanmu selama ini. Aku yakin kamu bisa membaca suratku, karena aku
sering mendengarmu membaca tulisan-tulisan yang tertempel di badan bis kota.
Kakak sengaja meletakkan surat ini di tempat biasa kamu berdiri─di
pinggir jalanan kota.
Semoga surat ini
tidak ditemukan oleh orang lain. Balaslah surat ini, Dik, lalu letakkan di
tempat yang sama saat kamu menemukan surat ini. Saat malam hari, kakak akan
mengambilnya..
Salam untuk adik di
gendonganmu..
Aku: ─Kakak
beralis tebal
0 komentar:
Posting Komentar