Untuk: Ibu dan Bapak
Surabaya, 12 Februari 2016
Assalamu’alaikum, Ibu, Bapak.
Bagaimana kabar Ibu
dan Bapak di kampung? Dan apakah adik-adik masih suka merengek kalo nggak dikasih uang jajan? Semoga Ibu, Bapak, dan adik-adik
selalu dalam keadaan baik dan sehat. Alhamdulillah, Ibu dan Bapak nggak perlu
terlalu mengkhawatirkan keadaanku. Aku selalu baik dan sehat disini.
Kebetulan hari ini
aku masuk kantor jam 10. Jadi aku manfaatkan pagi ini untuk menulis surat dan
mengirimnya kepada Ibu dan Bapak di kampung. Ada banyak kata, yang belum sempat
aku ucapkan, bahkan mulut ini selalu kalut saat akan mengucapkannya langsung.
Lebih baik aku suarakan lewat surat ini.
Beberapa tahun lalu,
saat aku masih duduk di bangku SD kelas 3, ada sebuah kejadian yang membuatku
berjanji akan membahagiakan Ibu dan Bapak.
Saat itu, ibu datang
ke sekolah untuk mengambil raportku. Aku melihatnya jelas, sangat jelas. Wali
kelasku mulai membacakan pengumuman rangking kelas. Dibacakanlah dari rangking
sepuluh. Sampai pada yang terakhir, wali kelas itu menyebutkan namaku
bersanding dengan rangking 1. Aku melihatnya jelas, sangat jelas. Ibu terlihat
sedang berusaha menahan tangisnya agar tetap tertampung. Tak ayal kelopak mata
itu tetap menumpahkan air yang keluar dari ujung mata. Ya, aku melihat ibu
menangis.
“Kenapa Ibu menangis? Apakah nilaiku kurang memuaskan?
Bukankah aku berhasil meraih rangking 1? Kenapa Ibu?” Benakku
saat itu.
Sampai akhirnya
pembagian raport selesai, aku menunggu ibu di depan pintu kelas. Aku menunggu ibu
dengan menyiapkan pertanyaan. Saat ibu sampai di ambang pintu kelas, aku masih
melihat air mata itu menggantung di pipi ibu. Belum sempat aku bertanya, ibu menghambur
lalu memelukku erat dengan setengah menjongkok. “Ada apa? Apakah setelah ini ibu akan memarahiku dan akan melarangku
bermain?”
Dan ini….Aku
mendengarnya, jelas mendengarnya apa yang ibu sampaikan saat masih di
pelukanku.
“Terimakasih, nak. Kamu telah membesarkan hati ibu hari
ini.”
Saat itu aku terlalu
bocah untuk mengerti dengan apa yang ibu sampaikan. Yang aku mengerti bahwa ibu
bangga kepadaku karena aku berhasil meraih rangking 1. Dan tangisan itu, adalah
bukti kebahagiaan ibu. Maka sejak saat itulah, aku berjanji untuk terus membuat
ibu menangis karena bahagia. Tetapi nyatanya, lebih sering aku membuat ibu menangis
karena sakit hati─sebab ulahku.
Ibu, kata pertama
yang ingin aku sampaikan adalah maaf. Aku sering berpura-pura tak mendengar
saat Ibu memanggilku untuk menyuruh membelikan sesuatu di toko. Kadang aku
membanting pintu kamar saat permintaanku tidak dituruti. Aku sengaja pulang
lama dari sekolah karena tidak ingin disuruh-disuruh saat di rumah. Aku
seenakanya meminta uang, lalu menghabiskannya dengan cepat. Aku sering kali
lupa menyebut nama Ibu dan Bapak diantara doa-doaku. Banyak lagi.
Saat duduk di bangku
SMA, aku sadar akan dosa-dosaku. Ibu, harusnya air mata itu tidak pantas kau
tumpahkan akibat ulah nakalku. Kini, setiap malamku tak pernah habis untuk menguraikan
dosa-dosaku terdahulu kepada Ibu dan bapak.
Maka inilah yang
ingin aku ucapkan.
“Ibu, bapak, maafkan aku! Maafkan jika tangismu adalah
tangis amarahmu kepadaku. Akulah yang mengundang amarahmu datang. Aku tahu,
engkau tidak pernah dendam kepadaku. Justru engkau mendoakanku agar selalu
sehat dan bahagia. Aku tidak mengerti, mungkin aku akan mengerti saat kelak aku
menjadi orang tua. Dan mungkin saat itulah aku baru menyesal karena telah
melukaimu semasa kanakku. Maafkan aku, karena sering lupa mendoakanmu. Aku
tahu, engkau tidak pernah sedikitpun tidak menyelipkan namaku diantara doamu.”
“Ibu, Bapak, aku tidak ingin kembali menghidupkan benih luka
di hatimu, aku tahu itu adalah dosa besar, maka ampunilah aku. Sebab Ridha
Tuhan bersama Ridha orang tua.”
“Maafkan aku, jika
lisan ini sering menghunus tajam ke hatimu. Jika sikapku sering membuatmu
terluka dan kecewa. Jika egoku sering mengalahkan nasehatmu. Jika tanganku tak
sempat menengadah untuk mendoakanmu. Aku sungguh menyayangi Ibu dan Bapak.”
I LOVE YOU, adalah
kata yang mungkin belum pernah Ibu dan Bapak dengar dari lisanku. Bibirku selalu
kalut untuk mengatakan langsung. Maka akan aku suarakan melalui suratku ini.
Ibu, Bapak. Akan aku
sampaikan kalimat cintaku lewat doa. Biarkan Tuhan dan malaikat-Nya menjadi
perantara cintaku kepada Ibu dan Bapak. Sebab hanya Tuhan yang kelak akan
mengabadikan cinta kita.
“Ya Alloh, Engkau
maha tahu isi hati setiap ummat-Mu. Sungguh, setelah aku mencintai Engkau dan
Rosul-Mu, adalah kedua orang tuaku yang aku cintai. Ya Alloh, tanamkan
kecintaan dalam hatiku kepada kedua orang tuaku, dan tutuplah hatiku untuk
mencintai orang lain sebelum aku mencintai kedua orang tuaku sepenuh hati. Dan
lindungilah kedua orang tuaku, seperti mereka melindungiku sewaktu aku kecil.”
Saat
aku pulang nanti, ijinkan aku menyampaikan kata ini agar menjadi kata yang
sempat diucapkan. Ijinkan aku untuk mencium keningmu, memelukmu erat. Sungguh
itu karena aku takut kehilangammu, Ibu, Bapak. Aku berdoa, semoga Alloh masih
memberikan umur panjang kepada Ibu dan Bapak.
Sampai
surat ini selesai aku tulis, setitik air mata telah meninggalkan bercak diatas
kertas bisu ini. Semoga aku selalu mendapat Ridhamu, juga Ridha Tuhan Ilahi.
Pengirim:
─Anakmu:
Haydar.
0 komentar:
Posting Komentar