Hei, perempuan yang
ku sebut Cinta.
Surabaya, 17
Februari 2016
Malam ini aku susah
sekali untuk tidur. Jam menunjukkan 02.18 WIB. Sekalipun aku memaksa untuk memejamkan
mata, yang ada pikiranku semakin gelisah. Apakah kamu juga memiliki perasaan
yang sama denganku?
Rindu.
Setiap malam aku
selalu mengirimkan salam terindah untukmu. Tak usah kau tanya siapa yang
menjadi perantara salamku. Cukup ku berdoa dan kusebut namamu, salamku akan
sampai. Aku harap kamu yang sedang jauh dipandanganku dapat merasakannya.
Kapan kamu kembali?
Kapan aku selesai bertugas? Adalah pertanyaan yang saling kita tujukan satu
sama lain. Dan kita juga punya satu pertanyaan yang sama; kapan kita bisa
bertemu untuk melepas rindu?
Tanpa kehadiranmu,
aku adalah malam yang kehilangan cahaya; gelap dan sunyi. Setiap malam aku
selalu menyibukkan diri untuk membuka-buka galeri ponselku untuk sekedar melihat
wajahmu; bola matamu yang lucu, hidupmu yang sedikit mancung, bibirmu yang
ranum dan alismu yang tebal.
Sedangkan kamu, apa
yang kamu ingat saat merindukanku? Dan apakah saat ini kamu sedang
merindukanku? Sekalipun kamu menjawab tidak, maka tetap akan kupaksa kamu untuk
merindukanku.
Hei, perempuan yang
ku sebut Cinta.
Anggaplah kalau saat
ini aku sedang di hadapanmu. Tataplah bola mataku, cari kebohongannya. Jika
tidak ada, maka itu artinya aku benar-benar jujur kepadamu.
Hei, perempuan yang
ku sebut Cinta.
Anggaplah kalau saat
ini aku sedang di hadapanmu. Maka tak akan kubiarkan sedetik waktuku
terlewatkan tanpa memelukmu. Erat sekali. Lalu setelah itu, akan kucium
keningmu barang detik.
Kamu tahu, setiap
malam aku selalu berkhayal seperti ini. Kadang sedikit mengurangi kerinduanku
atau kadang semakin menambah kerinduanku.
Hei, perempuan yang
ku sebut Cinta.
Sungguh, aku sangat
merindukanmu. Memoriku tak akan pernah lupa setiap detik yang terlewati
bersama. Aku sangat merindukanmu. Jika Tuhan memberikan satu permohonan, maka
aku akan memohon untuk dapat bertemu denganmu.
Hei, perempuan yang
ku sebut Cinta.
Mendoakanmu adalah
cara terbaikku untuk melepaskan kerinduanku, walau hanya membatin. Ya,
mendoakanmu.
Sekalipun kamu tidak
pernah hadir di malamku, aku selalu membayangkan kehadiranmu berupa bulan yang
menggantung di langit. Biarlah aku berharap pada Takdir dan Waktu menjadi penguasa
atas pertemuan kita. Kapan?
Pengirim: ─Haydar
Iskandar
0 komentar:
Posting Komentar