Kamis, 18 Februari 2016

Merindukanmu. Kita. Cinta Kita



Surabaya, 18 Februari 2016

Dalam hidupku, ada dua kemungkinan tentang cinta. Pertama, menemukanmu sebagai awal cintaku; yang kedua adalah kehilanganmu sebagai akhir cintaku. Dan aku pernah merasakan keduanya.

Hei, bagaimana kabarmu?

Sebelum menulis surat ini, aku telah berjanji untuk tidak akan menyebut-nyebut namamu kembali setelah aku akhiri tulisanku di surat ini.

Ku cinta kau.

Kamu tahu, kenapa aku berjanji untuk tidak menyebut-nyebut namamu kembali? Sebab ada sembilu yang menancap di dada saat aku uraikan kata demi kata membentuk namamu. Semuanya bermula ketika kamu pergi dengan alasan yang menamparku begitu keras. Masih membekas.

“Aku akan pergi, lalu ku bawa cintaku. Aku tidak lagi peduli dengan cinta dan janji.
Aku tidak bisa mencintaimu lagi.”

Bahkan, kamu tidak membubuhkan kata maaf di akhir ucapanmu. Dan belum sempat aku bertanya mengapa, kamu telah berbalik arah dan setiap hentak langkah kakimu serasa menginjak-injak hatiku. Semakin jauh, lalu hilang. Begitupun dengan hatiku yang telah habis terinjak olehmu.

Seandainya kala itu kamu memberiku kesempatan untuk menyampaikan pesan, maka inilah yang akan aku sampaikan:

“Menjauhlah perlahan dari kehidupanku. Atau menjauhlah dengan menghadap
ke arahku. Sungguh, cintaku kalahkan lukaku sebab hari ini.
Aku tak mampu.”

Aku telah hidup bertahun-tahun setelah kepergianmutanpamu. Benar-benar hidup. Tapi kehidupanku tak benar hidup. Mati sebelah. Sungguh, aku tak mampu. Bukankah aku pernah berkata kepadamu, jangan memberi kalau kamu tidak bisa ikhlas. Tapi kenapa kamu memberiku cinta kalau pada akhirnya, kamu ambil cinta itu secara paksa?

Aku berkali-kali berusaha melupakanmu. Benar-benar ingin lupa. Aku ingin lupa dengan namamu, wajahmu, senyumanmu, bahkan lupa dengan apa yang pernah terjadi kepadaku. Sampai pada akhirnya, aku telah lupa bahwa aku pernah berusaha melupakanmu.

Bahagialah kamu yang pergi. Meninggalkanku.

Sampai pada akhirnya aku lelah untuk berusaha melupakanmu. Aku berhenti berusaha. Lalu datanglah rasa rindu.

Aku merindukanmu. Merindukan kita. Merindukan cinta kita. Bahkan, aku rindu untuk berusaha melupakanmu. Aaargh! Entah. Rasaku tentangmu selalu terasa nikmat. Sekalipun soal rasa yang ambigu dan hati yang telah menjadi butir debu.

Lalu aku mulai rindu untuk menyebut namamu,

Jingga.




Jadilah pembaca setia saya, siapa tahu jodoh!

0 komentar:

Posting Komentar