Surabaya,
20 Februari 2016
Hay, aku harap kamu sedang
akan baik-baik saja. Jika kamu bertanya tentang keadaanku sekarang, aku jauh
lebih baik saat berada di sampingmu dulu. Tapi kamu tidak perlu mengkhawatirkan
keadaanku.
Aku minta maaf, jika
datangnya surat ini akan kembali mengingatkanmu pada kebersamaan kita dulu,
yang mungkin saja telah kamu kubur bersama keindahan yang baru. Tetapi, aku
hanya ingin menyenangkan diriku sendiri dengan berusaha mengungkapkan
perasaanku ini untukmu.
Dulu, aku masih ingat
saat pertama kali kita saling kenal. Ya, saat aku dan kamu secara tidak sengaja
bertemu di obrolan chat sosial media. Aku bertanya namamu, pun kamu bertanya
siapa namaku. Entah siapa yang memulainya, yang jelas aku mulai merasa beda. Kita
mulai berbicara banyak hal, tentang kelucuan kita, dan percakapan kita akan
berakhir saat malam melelapkan satu diantara kita.
“Udah
tidur ya? Selamat tidur ya J”
Itu adalah pesan yang aku
kirim untukmu setiap malam, saat kamu meninggalkan obrolan.
“Maaf
ya, semalam aku ketiduran. Hehehe.”
Dan setiap pagi, aku
selalu menerima pesan yang sama dari kamu.
Waktu tidak sampai
disitu. Ia menggulirkan kedekatakan kita pada pertemuan pertama. Kita berjanji
di suatu tempat dan waktu yang telah kita sepakati. Sore itu, aku mulai
menunggu, dan kulihat kamu mulai datang mendekat. Aku yakin itu kamu, walau
kita belum pernah bertemu. Entah kenapa, saat pertama kali kamu sapa namaku
dengan disertai iringan senyumanmu, ada yang aneh pada diriku. Mungkin jika
nadiku kamu potong, tak akan kamu lihat darah yang mengalir. Mungkin jika kamu
sentuh dadaku, tak akan kamu temukan detak jantungku. Mungkinkah kamu juga
begitu? Entah.
Dan disaat itu, tidak ada
percakapan yang terdengar diantara kita. Bibirku serasa kalut, dan terkunci rapat.
Kita seperti kucing yang sedang malu. Sesekali aku bertanya, “Jam berapa mau pulang?” Aku hanya memastikan kalau aku
tidak sedang mengganggu waktumu.
Waktu terus bergulir.
Hingga akhirnya aku dan kamu menjadi kita. Ya, saat kita saling beradu cinta
dan kasih. Saat kita saling merekatkan satu janji yang sama. Aku bahagia
memilikimu. Kamu juga berkata seperti itu untukku. Kita sama-sama bahagia,
bukan?
Kita mulai mengisi hari
dengan kelucuan kita. Aku melihat tawamu. Aku melihat senyumanmu. Saat kamu
mulai marah, aku paling suka melihat alis matamu yang seolah menyatu ditengah
dahimu. Dan yang paling aku suka, semua tentangmu.
Tapi terkadang, waktu
selalu menggulirkan kita tanpa kita tahu arahnya. Siklusnya; waktu telah menggulirkan
kita untuk saling kenal, lalu waktu menggulirkan kita untuk saling bertemu, selanjutnya
waktu menggulirkan kita untuk saling mencintai dan bersama, hingga akhirnya
waktu menggulirkan kita untuk saling menjauh, menjauh, lalu menghilang.
Diawali dari rasa tak
terduga kalau kita akan bersama, kini juga diakhiri dengan rasa tak terduga
kalau kita akan berpisah. Kita harus kembali; aku menjadi aku, dan kamu menjadi
kamu. Bukan lagi kita. Seperti dulu. Dan lewat surat ini, aku ingin
menyampaikan tentang perasaanku yang belum sempat aku sampaikan dulu.
Aku hanya ingin mengatakan
kalau aku masih mencintaimu. Jika itu salah, aku minta maaf. Aku selalu
menghitung hari, sudah berapa lama kamu pergi dari kehidupanku. Dan selama itu
pula, perasaanku tidak ada yang berubah. Kebiasaanku sekarang adalah
merindukanmu. Kerinduan itu membelukar di semak hatiku. Akarnya terlalu kuat
untuk aku cabut, jadi aku biarkan saja ia semakin menjalar.
Sekali lagi aku minta
maaf, jika isi surat ini terlalu lancang. Kemarin-kemarin aku selalu
mengirimkan pesan ini pada angin yang beradu di malam hari, tapi aku tidak
percaya kalau angin benar-benar menyelipkannya lewat mimpimu. Maka kali ini aku
beranikan untuk menulis pesan itu dan menjadikannya secarik surat ini.
Terimakasih atas
perkenalannya dulu, terimakasih telah menyempatkanku menjadi bagian dalam
hidupmu. Terimakasih atas semua perhatianmu dulu, jelas aku akan selalu
mengingatnya. Terimakasih telah menjadi kisah yang selalu aku tulis dalam
harianku. Terimakasih pernah ada, lalu tiada. Terimakasih telah datang, lalu
menghilang. Terimakasih.
Sampai saat ini, aku
selalu percaya bahwa waktu tidak pernah memisahkan cinta. Tapi waktu hanya
memberi jarak. Maka suatu saat nanti, waktu akan kembali menyatukan cinta. Aku
harap akan terjadi dengan kita, dan itu sebabnya aku sedia bertahan menunggumu.
Entah sampai kapan. Aku pun bertanya…
Pengirim: ─Haydar Iskandar
0 komentar:
Posting Komentar