Senin, 29 Februari 2016

Kamu Adalah Kesan Pertama dan Terakhirku



Surabaya, 29 Februari 2016

Sempat kuurungkan niatku menulis urat ini untukmu. Surat terkahir di 30 hariku. Karena aku ragu kamu akan sedia membaca surat ini. Tapi biarlah, sekalipun setelah kamu tahu siapa pengirim surat ini lalu kamu membuangnya, toh aku tidak akan tahu.

Jika sudi; kamu cukup baca, remas, buang dan lupakan. Sudah cukup berarti bagiku

Dalam hidupku, ada dua kemungkinan tentang cinta; Menemukanmu sebagai awal cintaku dan kehilanganmu sebagai akhir cintaku. Saat pertama kali aku bertemu denganmu, kamu tahu seperti apa rasaku? Seperti bahagianya orang yang telah lama berdiri kehausan di tengah padang pasir kering, panas, lalu datanglah angin berderu sangat sejuk dan meniupkan hujan untuk membasahi kekeringan. Kamu adalah angin sejukku; menghilangkan kegerahan dalam hati yang telah lama tandus akan cinta.

Sepanjang hidupku, adalah saat bertemu denganmu yang selalu membekas rindu. Setiap malam, saat kusebut namamu, aku serasa sedang berada dalam dekap pelukmu. Hangat dan sangat erat. Dan saat aku mulai membayangkan dirimu, aku serasa sedang mencium keningmu. Aku belum pernah berkhayal sejauh ini, mungkin harusnya aku sadar dengan khayalanku, meski khayalku selalu terasa indah semenjak engkau yang menjadi pemeran utamanya.

Yang ku ingat saat pertama kali bertemu denganmu, adalah sapaan manja yang terbata pelan nan lembut dari bibir merahmu. Demi Tuhan, hatiku serasa runtuh mendengar suaramu. Aku belum pernah bersumpah akan sebuah kesungguhan, baru kali ini aku mengucapkannya.

“Hallo.”

Kamu menyapaku sangat manja.

Seandainya saat itu ada malaikat yang bersedia meminjamkan sayapnya untukku, maka akan aku pinjam untukmu terbang ke surga. Aku mempercayai diriku, bahwa akulah orang paling bahagia sedunia saat itu. Aku sungguh.

Matamu menatapku sangat tajam, bahkan aku juga menatapmu sangat tajam. Dari bola matamu, aku melihat bayangan diriku. Mungkin dari bola mataku, kamu juga melihat bayangan bidadari yang berdiri di depanku. Itulah kamu. Untuk sesaat, kita saling memandang tanpa banyak bicara. Masih ingatkah?

Bahkan hingga kini, saat aku menulis ulang kisah kita yang telah lama usang, kebahagiaannya masih terasa sama, utuh dan tak banyak berbeda. Hanya satu yang berkurang, itu hadirmu.

Aku benar tidak menyangka, bahwa pertemuan kita dulu akan bermuara pada perpisahan. Kini jaraknya, telah jauh memisahkan antara aku dan kamu. Dan aku baru sadar bahwa, pertemuan adalah saat dimana kita sedang menanti sebuah perpisahan. Waktu, telah mempertemukan kita dan juga memisahkan.

Kamu adalah kesan pertamaku saat kita pertama kali berjumpa.

Sungguh, kini aku sangat merindumu. Mungkin terdengar tidak mungkin, karena pertemuan itu sudah lama sekali terjadi. Tapi demi Tuhan, pertemuan itulah yang kini membuatku merana untuk menanti kembali bertemu denganmu. Lagi-lagi aku bersumpah atas sebuah kesungguhan. Untukmu.

Sejak berakhirnya pertemuan itu, aku tak lagi mendengar kabarmu. Kamu seolah sengaja membiarkan pertemuan itu menggantung, dan akhirnya mati. Apakah kamu lupa bahwa, pertemuan itu terjadi karena kita saling menyepakati? Tetapi kenapa kamu menggantungnya?

Lagi aku ucapkan; kamu adalah kesan pertamaku saat kita pertama kali berjumpa.

Dan benar, hadirmu seperti angin. Yang tanpa disangka datang menyapaku, dan disaat aku terdiam untuk merasakan sejuknya, engkau malah meniupkan luka dan membuatnya menganga.

Disaat angin yang menyapaku telah membuatku terlena, ternyata engkau membawaku jauh ke dalam rasa pilu yang berkepanjangan hingga kini engkau berlalu. Entah angin itu akan bertiup ke mana lagi, yang jelas aku selalu menunggu angin itu kembali datang. Kamu.

Dan saat ini, akhirnya aku sadar diri dengan khayalku dulu. Bukan untuk berhenti berkhayal tentangmu, tetapi berhenti berharap untuk menjadikan khayalan itu sebuah kenyataan.

Kamu adalah kesan pertamaku saat kita pertama kali berjumpa, sekaligus kesan terakhirku saat aku tak mampu lagi menunggu.

Pengirim: Haydar Iskandar



Minggu, 28 Februari 2016

Tukang Pos Idolaku

Untuk: Kakak Mini

Tukang Pos Idolaku


Surabaya, 28 Februari 2016

Halo Kak Mini… Sehat, Kak?
Sudah 28 hari menjadi tukang posku, tapi belum juga kita saling bertemu. Padahal kita berada di kota yang samaSurabaya. Bahkan, tempat kuliah Kak Mini juga berhadapan dengan kantorku. Dunia seolah terasa lebar, hehehe.

Dan di hari ke 29 ini, akan kukirim surat ini untuk Kak Mini.

Beda banget dari surat-suratku yang sebelumnya, kali ini aku menulis surat untuk orang yang belum pernah kujumpai, bahkan aku menulis surat untuk orang yang menjadi pengantar surat-suratku sebelum ini. Semoga surat ini akan menjadi awal pengantar pertemuan kita (nanti).

Pastinya, ucapan terimakasih adalah kata yang akan kusebutkan paling utama dan berulang untuk Kak Mini. Terimakasih udah sedia mengantarkan surat-suratku selama 28 hari ini, bahkan telah bersedia membaca setiap surat yang aku kirimkan. Satu yang bikin aku penasaran sampai detik ini, gimana sih ekspresi kakak saat membaca surat-surat itu? Tersenyum, tersipu, ketawa, biasa aja atau apa?

Gimana setelah menjadi tukang pos selama 28 hari ini, Kak? Pastinya harus lebih mengatur waktu, ya? Kak Mini kan se-te-rong, hehehe. Kuliah, kerja dan menjadi tukang pos, WOW B-G-T!

Oh, iya. Beberapa hari ini hujan sering mengguyur Kota Surabaya, gimana rumah? Aman? Nggak kebanjiran? Hehehe. Semoga nggak deh, hehehe.

Sisa hari ini dan besok nih berprofesi sebagai tukang pos. SEMANGAAAT YA KAKAK!! Sengaja aku caps lock, pertanda aku sedang berteriak menyemangati Kak Mini. Coba saja aku berteriak di depan Kak Mini langsung, pasti udah copot tuh daun telinga hehehe.

Sudah semangat, kan? Apa mau aku teriak lagi? Atau mau aku antarkan secangkir mungil kopi hangat dan nasi bebek? *jangan ngiler loh*

Aku yakin, Kak Mini selalu semangat bin se-te-rong hehehe.

Kak Mini adalah tukang pos yang beda. Tukang pos yang dengan jeli dan setia membaca surat-surat dari pengirim, lalu diantarkan dengan baik. Tukang pos idola masa kini dan masa nanti, hehehe.

Itu aja sih..

Nggak usah panjang-panjang, karena hari ini Kak Mini akan mendapat banyak surat dari penggemar yang lain. Semoga suratku tidak tertindih dengan surat yang lain.  

Tentang penasaranku tadi, hari ini penasaranku semakin menjadi, “gimana sih ekspresi kakak saat membaca suratku ini?”

Pengirim: Haydar Iskandar



Jumat, 26 Februari 2016

Surat untuk Perempuan Vokalis

Surat untuk Perempuan Vokalis Surat Cinta Romantis


Surabaya, 26 Februari 2016

Hai, vocalis..
Aku baru sekali mendengar kamu bernyanyi, saat kita secara kebetulan mengisi di sebuah acara yang sama. Aku nggak akan berkomentar tentang suaramu, karena aku sendiri nggak paham soal kualitas suara. Aku mau bilang kalo aku menyukai lagu yang kamu bawakan waktu itu. Ya, itu adalah lagu kesukaanku. Tapi sayang, saat kamu tampil aku sedang berada di backstage, jadinya aku hanya bisa mendengar suaramu.

Dan beberapa hari yang lalu, aku mendapat kabar kalo malam nanti kamu dan bandmu akan tampil di sebuah acara pentas seni. Seketika itu juga aku berniat untuk datang dalam acara tersebut, sekedar ingin mengulang mendengar suaramu dan syukur-syukur kalo bisa melihatmu tampil di atas panggung dengan jelas. Ya, melihat bagaimana raut wajahmu saat menarik suara, melihat bola matamu saat sedang menghayati sebuah lagu yang sedang dinyanyikan, dan melihat senyumanmu saat menyapa penonton.

Aku telah merencanakan kepergian itu.

Tapi sayang, hari ini pekerjaanku menumpuk dan harus diselesaikan besok pagi sebelum pukul 07.00 WIB. Mau tidak mau, malam ini juga aku harus melembur di kantor. Tak ayal, rencanaku untuk datang ke acaramu nanti malam harus pupus. Ada sesal, iya. Tapi mau gimana lagi? Waktu belum menjadi perestu untukku kembali mendengarkanmu bernyanyi.

Aku berharap lain waktu.

Semangat ya untuk nanti malam. Aku yakin kamu dan bandmu akan tampil maksimal. Semoga kamu kembali menyanyikan lagu yang menjadi kesukaanku. Aku akan mendengarkannya lewat jiwa, alias akan kuulang rekaman otakku pada beberapa bulan lalu saat aku mendengarmu bernyanyi.

Aku yakin, malam nanti adalah malam yang telah kamu tunggu sejak lama. So, berikan yang terbaik bagi mereka yang telah sedia mendengarkan dan menyaksikanmu. Seandainya aku ada diantara mereka…tapi itu sudah tidak mungkin.

Oh, iya.. Sembari menulis surat ini, aku sambil nyanyi dengan suara bergumam. Aku berharap, suatu saat nanti aku dapat mendengarmu menyanyikan lagu yang sedang aku nyanyikan saat ini.

“…Kau membuatku mengerti hidup ini. Kita terlahir
bagai selembar kertas putih. Tinggal ku lukis dengan
 cinta pesan damai. Dan tewujud harmony…”
Padi in Harmony


Pengirim: Haydar Iskandar




Kamis, 25 Februari 2016

Rasa yang Menjadi Rahasia



Surabaya, 25 Februari 2016

Hei, kekasih yang terkasih. Masih kah kamu mengijinkan aku untuk memanggilmu kekasih? Sekalipun kamu tidak mengijinkan, aku tidak peduli. Aku masih mencintaimu. Bahkan, aku tidak menyerah mencintaimu sekalipun kamu telah pergi.

Aku akan memberitahumu tentang rasa yang selama ini menjadi rahasia. Jelas, ini tentang rasaku kepadamu. Aku sebut rasa yang menjadi rahasia karena sampai saat ini kamu tidak mengetahuinya. Seandainya kamu mengetahui tentang rasaku, maka kujamin kamu tidak akan meninggalkanku dan rasaku tak lagi rahasia.

Tapi…rasaku benar-benar rahasia. Kamu pergi.

Aku tulis surat ini dengan penuh hati-hati. Aku tidak mau sampai menulis kata yang dapat menyinggung perasaanmu.

Rasaku adalah tentang bagaimana aku mencintaimu setiap detik, merindukanmu setiap detak jantung, dan memikirkanmu setiap desis nadiku. Bahkan hingga kini, saat kamu telah pergi, rasaku menjadi tentang bagaimana aku mencintai dan merindukanmu dengan keegoisanku yang tidak ingin melupakanmu──membiarkanmu bersama orang lain.

Aku menanggung rindu sendiri. Aku menanggung cinta sendiri. Aku benar-benar menjadi orang tunggal.

Aku kira kedatanganmu dulu tidak hanya sekedar menjadi tamu yang akan berlalu. Aku kira hadirmu adalah pembahagiaan yang Tuhan gantungkan dalam hatiku abadi. Tapi dasar teori perkiraan, tidak selalu menjadi kenyataan. Sebab kenyataan yang harus aku terima saat ini adalah kehilanganmu.

Bukan hal yang mudah untuk melupakanmu, setelah sebagian otakku terisi olehmu dan tentangmu. Lebih mudah meninggalkan daripada melupakan. Seandainya kamu meninggalkanku dengan memberitahu cara melupakanmu dengan cepat, mungkin aku tidak akan segila ini.

Setiap malam, aku selalu tenggelam dalam lautan kenangan. Aku meraung menyebut namamu, memanggilmu untuk segera menolongku. Sebab saat aku putuskan untuk mencintaimu dulu, tidak pernah terbesit sedikitpun dalam diriku untuk meninggalkanmu.

“Apa yang membuatmu pergi?”

Jika aku pernah melukaimu, katakanlah. Atau mungkin aku pernah tidak memeperdulikanmu, maka bicaralah. Jangan membungkam lalu tiba-tiba kau putuskan pergi. Kepergianmu yang tanpa alasan itulah yang mebuatku terluka dan masih terluka hingga kini. Luka itu menganga lebar. Mungkin hingga waktu yang tidak bisa dijelaskan.

Sama halnya dengan rasaku dalam mencintaimu; tidak akan berhenti hingga waktu yang tidak bisa kujelaskan, hingga masa yang sulit kuuraikan dan hingga kiamat yang susah untuk ditebak kapan hadirnya.

Kiamat adalah rahasia. Mencintaimu hingga kiamat pun adalah rasaku yang menjadi rahasia. Bahkan hingga kini, alasanmu meninggalkanku pun masih menjadi rahasia…



Pengirim: Haydar Iskandar


Rabu, 24 Februari 2016

Pertanyaan untuk Hujan

Untuk: Hujan
Aku menulis surat ini ketika kotaku sedang hujan.

Surat untuk hujan

Surabaya, 24 Februari 2016


Halo, hujan.
Kebetulan, sore ini kamu kembali turun. Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Sebaiknya pertanyaanku aku kirim melalui surat ini.

#1
Hujan, apakah kamu merasa kedinginan?

Aku aja yang berada di dalam kamar dan berselimut masih merasakan kedinginan saat kamu turun. Kadang aku kedinginan sampai menggigil. Lalu bagaimana dengan kamu? Apa kamu merasakan kedinginan sepuluh kali lipat dari apa yang aku rasakan? Atau tidak sama sekali? Kalau kamu merasa kedinginan, kemarilah, duduk dan kita nikmati secangkir teh hangat.

#2
Hujan, apa alasanmu turun ke bumi?

Kadang kamu turun sehari dua kali, sehari sekali, bahkan kadang kamu turun seharian tanpa henti. Huh. Asal kamu tahu, kadang aku merasa jengkel saat kamu turun di saat yang tidak kuharapkan. Tetapi, ketika aku mengharapkanmu turun, eh kamunya nggak turun-turun. Sebenarnya alasanmu turun itu apa, sih?

#3
Hujan, apa arti petir bagi kamu?

Biasanya, kamu akan turun setelah ada petir. Padahal kan petir itu menakutkan?  Apa kamu nggak takut sama petir? Atau emang kamu nggak punya rasa takut pada apapun? Aku pernah berpikir kalo kamu dan petir itu adalah sepasang. Apakah iya? Kalo iya, bagaimana kamu dan petir bisa bersatu? Bukannya kalian berbeda?

#4
Hujan, kenapa saat kamu turun, awan selalu berubah menjadi
warna gelap?

Kata orang-orang, kamu itu adalah air mata awan yang sedang menangis. Karena setiap kamu turun, awan selalu menjadi gelap. Apa iya kamu adalah air mata? Berarti selama ini, orang-orang telah suka pada air mata awan dong?

#5
Hujan, sadar nggak kalo banyak orang yang suka padamu?

Ada banyak orang yang suka bahkan mencintaimu dengan berbagai alasan. Ada yang bilang, kamu adalah keindahan tanpa sebab akibat. Kamu adalah kejadian yang mengingatkan mereka pada kisah yang indah. Rintikmu bagai bait doa yang dilantunkan dengan sepi. Kamu adalah ingatan pada kenangan. Kamu adalah kenyataan yang harus disyukuri. Dan banyak lagi. Apakah kamu senang mereka mencintaimu demikian? Atau inilah yang menjadi alasanmu turun ke bumi?Untuk dicintai?

#6
Hujan, apakah kamu mencintai pelangi?

Aku selalu takjub kepada pelangi. Siapa dia, yang datang setelah kamu pergi? Kenapa kalian tidak datang bersamaan? Aku ingin melihat kamu dan pelangi dalam waktu yang sama. Siapa dia, yang tersenyum setelah kamu tiada? Apakah benar, kamu adalah air mata awan? Dan ketika awan selesai menangis dan kamu berhenti menetes, pelangi akan datang sebagai penghapus kesedihan, sebagai keindahan? Apakah begitu filosofi hujan dan pelangi?

Hujan, aku ingin kamu menjawab semua pertanyaanku. Selama ini aku hanya bertanya dalam hati, mungkin kamu tidak mendengar. Aku kirim surat sebagai gantinya. Surat ini aku lipat menjadi perahu kertas dan akan aku hanyutkan pada genanganmu. Tetapi, jangan kau sampaikan surat ini kepada petirmu atau kepada awan mendung. Kamu hanya boleh memberi tahu surat ini kepada pelangi.

Setiap kali kamu turun, aku merasa bahagia. Aku pernah menari bersamamu. Apa kamu masih ingat? Walau aku tidak bisa memelukmu, aku yakin saat itu kamu memelukku. Tapi sayang, saat itu kamu datang hanya sebentar. Aku belum puas menari denganmu.

Hujan, terimakasih telah menjadi hujanku. Terimakasih telah sedia menjadi rintik dalam doaku. Terimakasih telah menjadi teman kerinduanku. Terimakasih telah menjadi ceritaku. Dan terimakasih telah melumpuhkan ingatanku──tentang dia yang hadir sebelummu. Walau aku tahu, kamu hanya singgah dan pergi.

Pengirim: Haydar Iskandar



Selasa, 23 Februari 2016

Surat untuk Bu Kost


Surabaya, 23 Februari 2016

Assalamu’alaikum, bu.
Sebelumnya saya minta maaf bu kalo surat ini datang di waktu yang kurang tepat, karena mengganggu aktivitas ibu.

Terimakasih banyak atas dua tahun ini, bu. Hari ini saya memutuskan untuk pindah kontrakan. Bukan karena saya tidak betah di tempat ibu, bukan. Melaikan jarak dari tempat kerja yang semakin jauh. Jadi, saya memutuskan untuk mencari rumah yang lebih dekat dengan kantor.

Saya juga minta maaf apabila selama dua tahun ini sering membuat keributan, pernah menyakiti perasaan ibu atau kadang bayar kontrakan telat. Sekali lagi mohon maaf bu.

Saya merasa betah banget tinggal di tempat ibu. Selain tempatnya yang nyaman, ibu pun juga sangat ramah. Banyak kenangan yang tersimpan di rumah itu, bu. Mudah-mudahan rumah itu segera ada yang menempati dan bisa merawat rumah itu dengan baik-baik.

Pengirim: Haydar Iskandar



Senin, 22 Februari 2016

Soal Waktu yang Terbuang



Surabaya, 22 Februari 2016

Surat ini aku tulis saat aku tengah terbangun dari tidurku. 01.24 WIB tepatnya. Aku seperti sedang bermimpi setengah sadar. Kunyalakan laptop lalu kutulis surat ini. Berniat mengirimkan ke alamat emailmu.

Masih ingat aku? Kalau kamu sudah lupa, akan aku ingatkan.

Aku adalah orang yang selama dua tahun ini hidup tanpa tujuan. Namun sebelumnya, aku telah hidup sia-sia selama satu tahun. Dan untuk hidupku selanjutnya, aku pun tidak tahu. Apakah masih tanpa tujuan atau kembali sia-sia. Entah.

Kalau kamu masih belum mengenaliku, maka akan aku perjelas.

Aku mulai dari hidupku yang tanpa tujuan. Dua tahun lamanya. Aku hidup seperti ranting pohon yang tertiup angin. Angin bertiup ke timur, aku ikut ke timur. Saat angin bertiup ke barat, aku pun ikut ke barat. Benar-benar tanpa tujuan. Hal ini terjadi dalam kehidupanku saat seseorang telah menancapkan sembilu di hatiku. Dia menancapkannya, lalu pergi tanpa mencabut sembilu itu.

Setelah kejadian itu, hidupku tanpa tujuan. Hidupku hanya makan saat lapar, tidur ketika mengantuk dan berdiam ketika tidak lapar dan tidak mengantuk. Dua tahun lamanya.

Namun sebelum itu, hidupku seperti sia-sia selama satu tahun. Ya, aku telah sia-sia mencintai seseorang yang pada akhirnya menjadi alasan bagiku untuk hidup tanpa tujuan selama dua tahun ini. Setahun aku bersama dia dengan cinta yang begitu besar, tapi dia pergi untuk mencintai orang lain.

Apakah kamu sudah ingat sekarang?

Sosok aku dalam ceritaku barusan adalah aku, dan tokoh dia tersebut adalah kamu. Sekarang sudah ingat? Aku berharap kamu belum amnesia tentang sikapmu terhadapku dulu.

Kenapa dulu kamu datang membawa janji yang pada akhinrya kau jual menjadi janji basi? Kau bilang mencintaku, menyayangiku dan setia padaku. Namun kenyataannya?

Kamu datang, lalu giring aku untuk sampai di ambang hatimu.  Tetapi kenapa ucapanmu tak semanis dulu? Apakah manis itu hanya polesan bibir?

Lewat surat yang belum tentu kamu baca ini, aku ingin mengatakan kalau aku membencintai-mu. Sungguh aku masih sangat mencintaimu, sekaligus aku membencimu karena telah mengingkari janjimu sendiri. Kamu berjanji dengan sadarmu, bukan paksaanku.

Kali ini aku tidak akan mengemis di depan pintu hatimu, mengetuknya lalu menunggumu membuka pintu. Tidak. Aku tidak ingin hidupku kembali sia-sia. Sekarang tujuan hidupku adalah mencari tujuanku hari ini. Kemudian besok aku akan bertanya seperti itu, begitulah seterusnya.

“Ke mana hari ini?”

Terimakasih telah memberiku ijin untuk mencintai dan melupakanmu. Terimakasih atas waktu yang berjalan sia-sia dan atas waktu yang jalan di tempat, tanpa tujuan.


Pengirim: Haydar Iskandar


Minggu, 21 Februari 2016

Surat untuk Tuhan: Kabulkanlah, Amin


Surabaya, 21 Februari 2016

Tuhan…
Aku percaya Engkau maha mendengar dan maha mengetahui. Kupercaya Engkau pun akan mendengar doa-doaku ini…

Tuhan…
21 Tahun yang lalu Engkau lahirkan aku ke muka bumi ini, lewat rahim seorang perempuan yang luar biasa hebat. Saat melahirkanku, perempuan itu telah merelakan nyawanya agar aku lahir dengan selamat. Bahkan perempuan itu tidak berdoa untuk keselamatannya, tetapi berdoa untuk keselamatanku.

Aku berhasil lahir dengan sempurna dan perempuan itu pun selamat. Aku menangis. Lalu datang seorang laki-laki yang terlihat gagah mengkumandangkan adzan dekat telingaku, kala itu aku berada dalam pangkuannya. Aku begitu tenang, tidak lagi menangis.

Tuhan... Mereka adalah Ayah dan Ibuku.
Engkau lebih mengetahui betapa susahnya Ibu saat melahirkanku, dan betapa kerasnya Ayah bekerja siang malam demi mengumpulkan uang untuk biaya hidupku nanti.

Maka doaku yang pertama; ampuni segala dosa-dosa kedua orang tuaku, sejahterakanlah hidupnya dan kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihaniku sewaktu aku kecil. Indahkan senyumannya, jangan sampai Engkau campurkan senyuman mereka dengan kesedihan, Tuhan. Lancarkanlah rezeki mereka dan panjangkan umur mereka.

Tuhan…
Lembutkan lisanku dan indahkanlah perkataanku agar tidak menjadi pisau bagi hati mereka. Jagalah tabiatku agar tidak melukai hati mereka. Tundukkanlah pandanganku agar tidak menyinggung perasaan mereka. Sungguh, aku tidak ingin membuat mereka menangis atas ketidaktahuanku dalam bersikap.

Tuhan…
Ampuni segala dosa dan khilafku. Dosa yang hamba perbuat di hadapan-Mu, dosa yang hamba perbuat di hadapan kedua orang tuaku, dosa yang hamba perbuat di hadapan guru-guruku, dan dosa yang hamba perbuat di hadapan saudara-saudara hamba di muka bumi ini.

Tuhan, hanya kepada Engkaulah hamba menyembah dan hanya kepada Engkaulah hamba meminta pertolongan.

Al-Quran dan Al-Hadist telah hamba jadikan kompas dalam perjalanan hidupku, tetapi hamba adalah makhluk yang tak lepas dari salah dan dosa. Maka tuntunlah hamba pada jalan yang lurus, jalan menuju ridho-Mu, jalan yang sedikit orang mampu melewatinya.

Hamba percaya, kegagalan yang sering terjadi pada diri hamba adalah sebab hamba kurang bersyukur dan beribadah kepada Engkau. Dan kesuksesan yang hamba dapatkan saat ini adalah ujian dari-Mu. Maka jauhkanlah hamba dari sifat kufur dan takabur.

Tuhan, saat ini hamba tinggal di negeri yang kaya. Tapi kenapa, negeri kami tidak pernah luput dari musibah. Pengeboman, banjir, tsunami, gunung meletus seolah menjadi berita yang tidak asing lagi bagi kami semua. Maka Tuhan, tunjukkanlah segala yang salah tentang negeri kami. Jadikanlah negeri Indonesia ini negeri yang madani. Sungguh, kami mencintai tanah ibu pertiwi kami.

Tuhan…
Saat ini jumlah remaja Indonesia mencapai 66 juta. Maka selamatkanlah generasi muda Indonesia. Jangan Engkau sesatkan pandangannya, dan kembalikanlah mereka kepada jalan yang benar. Tambahkan iman dan ilmu kepada generasi muda Indonesia, agar kelak menjadi pemimpin yang amanah bagi Indonesia. Menjadi pemimpin yang berlandaskan aturan Islam.

Tuhan, hanya kepada Engkaulah hamba menyembah dan hanya kepada Engkaulah hamba meminta pertolongan.

Surat untuk Tuhan. Maka kabulkanlah. Aamiin.


Pengirim: Haydar Iskandar


Sabtu, 20 Februari 2016

Waktu Tidak Pernah Memisahkan

surat cinta haydar iskandar gobloghaydar.blogspot.co.id


Surabaya, 20 Februari 2016

Hay, aku harap kamu sedang akan baik-baik saja. Jika kamu bertanya tentang keadaanku sekarang, aku jauh lebih baik saat berada di sampingmu dulu. Tapi kamu tidak perlu mengkhawatirkan keadaanku.

Aku minta maaf, jika datangnya surat ini akan kembali mengingatkanmu pada kebersamaan kita dulu, yang mungkin saja telah kamu kubur bersama keindahan yang baru. Tetapi, aku hanya ingin menyenangkan diriku sendiri dengan berusaha mengungkapkan perasaanku ini untukmu.

Dulu, aku masih ingat saat pertama kali kita saling kenal. Ya, saat aku dan kamu secara tidak sengaja bertemu di obrolan chat sosial media.  Aku bertanya namamu, pun kamu bertanya siapa namaku. Entah siapa yang memulainya, yang jelas aku mulai merasa beda. Kita mulai berbicara banyak hal, tentang kelucuan kita, dan percakapan kita akan berakhir saat malam melelapkan satu diantara kita.

“Udah tidur ya? Selamat tidur ya J

Itu adalah pesan yang aku kirim untukmu setiap malam, saat kamu meninggalkan obrolan.

“Maaf ya, semalam aku ketiduran. Hehehe.”

Dan setiap pagi, aku selalu menerima pesan yang sama dari kamu.

Waktu tidak sampai disitu. Ia menggulirkan kedekatakan kita pada pertemuan pertama. Kita berjanji di suatu tempat dan waktu yang telah kita sepakati. Sore itu, aku mulai menunggu, dan kulihat kamu mulai datang mendekat. Aku yakin itu kamu, walau kita belum pernah bertemu. Entah kenapa, saat pertama kali kamu sapa namaku dengan disertai iringan senyumanmu, ada yang aneh pada diriku. Mungkin jika nadiku kamu potong, tak akan kamu lihat darah yang mengalir. Mungkin jika kamu sentuh dadaku, tak akan kamu temukan detak jantungku. Mungkinkah kamu juga begitu? Entah.

Dan disaat itu, tidak ada percakapan yang terdengar diantara kita. Bibirku serasa kalut, dan terkunci rapat. Kita seperti kucing yang sedang malu. Sesekali aku bertanya, “Jam berapa mau pulang?” Aku hanya memastikan kalau aku tidak sedang mengganggu waktumu.

Waktu terus bergulir. Hingga akhirnya aku dan kamu menjadi kita. Ya, saat kita saling beradu cinta dan kasih. Saat kita saling merekatkan satu janji yang sama. Aku bahagia memilikimu. Kamu juga berkata seperti itu untukku. Kita sama-sama bahagia, bukan?

Kita mulai mengisi hari dengan kelucuan kita. Aku melihat tawamu. Aku melihat senyumanmu. Saat kamu mulai marah, aku paling suka melihat alis matamu yang seolah menyatu ditengah dahimu. Dan yang paling aku suka, semua tentangmu.

Tapi terkadang, waktu selalu menggulirkan kita tanpa kita tahu arahnya. Siklusnya; waktu telah menggulirkan kita untuk saling kenal, lalu waktu menggulirkan kita untuk saling bertemu, selanjutnya waktu menggulirkan kita untuk saling mencintai dan bersama, hingga akhirnya waktu menggulirkan kita untuk saling menjauh, menjauh, lalu menghilang.

Diawali dari rasa tak terduga kalau kita akan bersama, kini juga diakhiri dengan rasa tak terduga kalau kita akan berpisah. Kita harus kembali; aku menjadi aku, dan kamu menjadi kamu. Bukan lagi kita. Seperti dulu. Dan lewat surat ini, aku ingin menyampaikan tentang perasaanku yang belum sempat aku sampaikan dulu.

Aku hanya ingin mengatakan kalau aku masih mencintaimu. Jika itu salah, aku minta maaf. Aku selalu menghitung hari, sudah berapa lama kamu pergi dari kehidupanku. Dan selama itu pula, perasaanku tidak ada yang berubah. Kebiasaanku sekarang adalah merindukanmu. Kerinduan itu membelukar di semak hatiku. Akarnya terlalu kuat untuk aku cabut, jadi aku biarkan saja ia semakin menjalar.

Sekali lagi aku minta maaf, jika isi surat ini terlalu lancang. Kemarin-kemarin aku selalu mengirimkan pesan ini pada angin yang beradu di malam hari, tapi aku tidak percaya kalau angin benar-benar menyelipkannya lewat mimpimu. Maka kali ini aku beranikan untuk menulis pesan itu dan menjadikannya secarik surat ini.

Terimakasih atas perkenalannya dulu, terimakasih telah menyempatkanku menjadi bagian dalam hidupmu. Terimakasih atas semua perhatianmu dulu, jelas aku akan selalu mengingatnya. Terimakasih telah menjadi kisah yang selalu aku tulis dalam harianku. Terimakasih pernah ada, lalu tiada. Terimakasih telah datang, lalu menghilang. Terimakasih.

Sampai saat ini, aku selalu percaya bahwa waktu tidak pernah memisahkan cinta. Tapi waktu hanya memberi jarak. Maka suatu saat nanti, waktu akan kembali menyatukan cinta. Aku harap akan terjadi dengan kita, dan itu sebabnya aku sedia bertahan menunggumu. Entah sampai kapan. Aku pun bertanya…


Pengirim: Haydar Iskandar